Hakim Sarpin Rizaldi telah mengubah aktivis menjadi positivistik

Hakim Sarpin Rizaldi, telah dengan berani memutuskan perkara yang tidak gampang. Perkara sulit dan mendapat perhatian yang luar biasa, yaitu perkara permohonan praperadilan terhadap penetapan Budi Gunawan sebagai tesangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, ketika sudah dicalonkan sebagai Kapolri oleh Presiden Republik Indonesia. Hakim Saprin Rizaldi dengan segala risiko, termasuk dicaci-maki, diolok-olok, diancam tidak diakui dan akan dicampakkan sebagai alumni, dikatakan mempermalukan orang sekampungnya, karena telah memutuskan membuka kanal bagi warga Negara yang ditetapkan sebagai  tersangka oleh penyidik untuk melakukan perlawanan.

Tulisan  atau wawancara yang dikutip oleh Media atau social media bahkan dalam percakapan “warung kopi” setelah putusan perkara  praperadilan Budi Gunawan ini, sungguh mengagetkan, karena tiba-tiba para aktivis yang selalu menyebut diri sebagai agen perubahan dan berpikir komprehensif, sudah beralih cara berpikir menjadi  sangat posivistik. Argument pokoknya Pasal 77 KUHAP sudah secara limitative membatasi ruang lingkup praperadilan, tidak bisa diberikan tafsir yang lebih luas oleh hakim. Cara berpikir positivistic yang selama ini dikecam, ketika memberikan komentar terhadap pembelaan yang dilakukan oleh para advokat terhadap klien mereka di pengadilan. Perubahan cara berpikir ini, tentu bisa dipahami, karena itu manusiawi dan itu adalah hak asasi termasuk berubah cara berpikir.  Kalaulah dibuat survey rekor oleh Muri, dapat dipastikan bahwa putusan praperadilan terhadap penetapan Budi Gunawan oleh Hakim Sarpin Rizaldi, akan mencapai rekor tertinggi sebagai putusan praperadilan yang paling banyak dibicarakan, dikecam dan dibela sepanjang sejarah praperadilan di Indonesia.

Seandainya  yang mengajukan praperadilan ini bukan Budi Gunawan yang disangka menerima suap atau gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dapat dipastikan bawa para aktivis ini, akan berpikir menjadi sangat positivis seperti yang dipamerkan sekarang. Bahkan kalau seandainya yang dinyatakan penetapan tersangkanya tidak sah adalah seorang aktivis, hampir dapat dipastikan hakim Sarpin Rizaldi akan mendapat decak kekaguman dari para aktivis. Akan dielu-elukan sebagai hakim yang membawa perubahan segar dalam proses penegakan hukum. Inilah ironi penegakan hukum yang  sedang terjadi.

Pertimbangan untuk perubahan

Meskipun putusan praperadilan tidak sampai mempertimbangkan cukup atau tidak cukup bukti permulaan yang dijadikan dasar untuk menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, toh cercaan luar biasa banyaknya dilontarkan, karena ada anggapan bahwa praperadilan itu sudah dibatasi secara limitative dan tidak boleh diberi tafsir. Seperti misalnya tulisan Aradila Caesar Ifmaini Indris dengan judul “ Sesat Pikir Putusan Praperadilan” (Kompas Rabu, 18 Februari 2015, hal 7). Bahkan  social media ada yang menyebut bahwa telah lahir aliran hukum baru “Sarpinisme”. Aliran atau cara pandang dalam memahami dunia  dengan berdasarkan arah kepentingan politik, terutama merawat kekuasaan korup dari sistem penegakan hukum.

Kalaulah mau disebut bahwa putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan Budi Gunawan ini sebagai “Sarpinisme”, maka “Sarpinisme” harus dibaca sebagai cara pandang bahwa hak asasi manusia itu harus dijunjung tinggi dan semutlak apapun kekuasaan yang digunakan mengambil keputusan secara  salah, maka putusan harus  dianulir. “Sarpinisme” tidak bisa tidak harus difahami, bahwa putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan Budi Gunawan, untuk menilai sah dan tidak sahnya penetapan tersangka harus dianggap telah  membuka pintu masuk untuk menilai sah atau tidak sahnya ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, ketika penetapan itu diduga mengandung kesalahan.  Ruang yang terbuka itu dalah praperadilan untuk mengisi kekosongan hukum dalam  melindungi hak asasi manusia. Pertimbangan putusan praperadilan ini telah memberi wawasan dan persfektif baru mengenai wilayah cakupan praperadilan, yaitu bahwa hak dari tersangkan untuk mempertanyakan keabsahannya ditetapkan sebagai  teresangka, tidak hanya dibatasi pada tataran  sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan maupun ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.

Hal ini tentu saja sejalan dengan   International Covenant On Civil and Political Right/Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (“ICCPR”), yang diratifikasi UU Nomor 12 tahun 2005, yang berisi mengenai pengukuhan pokok-pokok Hak Asasi Manusia, dimana negara telah berjanji untuk memberikan jaminan guna melakukan pemulihan terhadap seseorang yang hak-hak nya telah dilanggar dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas institusi negara/penegak hukum melalui segala upaya penyelesaian peradilan.

Alasan praperadilan

Sebagai salah seorang yang ikut menjadi kuasa dari Budi Gunawan, maka cukup beralasan kalau dikemukakan pokok-pokok permohonan praperadilan yang dilakukan agar memberikan persfektif yang jelas dalam mengkaji putusan praperadilan. Ada empat pokok permohonan yang diajukan kepada hakim praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; pertama Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap Budi Gunawan sesuai dengan kewenanangan KPK sebagaimana dimaksud oleh Pasal 11 UU KPK. Jabatan Budi Gunawan sebagai Karobinkar adalah jabatan administratif yang tidak menjalankan fungsi penegakan hukum (bukan penyidik).  Jabatan Karobinkar adalah jabatan dengan golongan eselon II sehingga tidak masuk dalam kualifikasi Penyelenggara Negara. Tidak ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara. Tidak mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan  tidak ada  kerugian negara yang mencapai  Rp. 1 M; kedua, dalam penetapan Budi Gunawan sebagai Tersangka tidak ditetapkan secara bersama-sama secara kolektif dan kolegial oleh lima orang pimpinan KPK, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 21 UU KPK; ketiga, dalam menetapkan Budi Gunawan sebagai Tersangka KPK telah melakukan Abuse of Power, karena digunakan untuk tujuan lain diluar kewajiban dan wewenang KPK yaitu mengambil alih atau mengintervensi hak Prerogratif Presiden RI utk menentukan calon Kapolri yang dimintakan persetujuan ke DPRRI dan seolah-olah  Presiden harus meminta pendapat KPK dlm menentukan penunjukan seorang Kapolri; keempat, prosedur penyelidikan, penyidikan dan penetapan Budi Gunawan sebagai Tersangka dilakukan dengan melanggar asas kepastian hukum, karena tidak ada pemeriksaan “pro justisia” dan hanya berdasarkan LHA PPPATK yang belum dikonfirmasi kebenarannya dan diduga diperoleh dengan cara yang tidak sah.

Dalam putusan Hakim Saprin Rizaldi, yang dipertimbangkan dari permohonan ini, terbatas pada tidak adanya kewenangan KPK dalam menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka.  Dikatakan bahwa penetapan tersangka tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum, surat perintah penyidikan harus dinyatakan tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum. Argumen yang lain, menurut Hakim ditolak.

Putusan praperadilan ini  pada hakekatnya adalah putusan jalan tengah, karena hakim tidak menguji apakah bukti permulaan yang digunakan untuk menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka itu cukup atau tidak cukup, sah atau tidak sah. Putusan jalan tengah ini, tentu harus dihormati, suka atau tidak suka sudah bersifat mengikat dan harus dilaksanakan oleh KPK.

Putusan memenangkan hukum

Kalau putusan praperadilan ini dilihat secara jernih, tanpa ada “prasangka” untuk melemahkan KPK, seharusnya putusan ini disyukuri dan diberikan apresiasi, karena ada hakim yang berani mengambil risiko untuk melindungi hak asasi manusia dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penyidik. Ada hakim yang berani untuk melakukan terobosan hukum untuk melindungi hak asasi manusia. Putusan praperadilan yang menghormati hak asasi manusia ini, harus dianggap sebagai kemenangan hukum, bukan kemenangan Budi Gunawan semata. Putusan ini dapat digunakan oleh siapapun yang ditetapkan sebagai tersangka dan hak asasinya dilanggar atau ada peroses dan prosedur hukum yang dilampaui dalam penetapannya sebagai tersangka, maka dapat saja mengajukan praperadilan untuk melakukan koreksi atas penetapan sebagai tersangka.

Putusan praperadilan ini tidak bisa tidak harus dilaksanakan sebagai keputusan hakim. Tidak boleh ada lembaga apapun dan dengan alasan apapun untuk tidak melaksanakan putusan pengadilan ini, sebab tidak ada lembaga apapun yang berada diatas hukum.