Makna Putusan Praperadilan Budi Gunawan

DENGAN meminjam kalimat Andrew Young dalam tulisannya The Forgotten Spirit of the Magna Carta, dapat dikatakan bahwa ‘Putusan objek praperadilan’ yang diperluas oleh Hakim Sarpin Rizaldi bukan merupakan akta kelahiran kebebasan hakim dalam menafsirkan UU, melainkan harus dipandang sebagai ‘sertifikat kematian’ dari kesewenang-wenangan dalam menetapkan status seorang menjadi tersangka.

Putusan praperadilan ini harus dianggap bahwa semua orang tidak dapat dijadikan tersangka, direbut kebebasannya, kecuali dengan proses hukum yang dilakukan secara adil melalui proses penyidikan. Bukan ditetapkan lebih dahulu menjadi tersangka, kemudian diperiksa sambil mencari bukti sehingga putusan praperadilan ini harus dibaca membatasi kekuasaan penyidik dalam satu proses hukum karena penyidik tidak dapat disamakan dengan hukum.

Secara ideal, hukum acara itu memberikan kesetaraan antara tersangka, terdakwa dengan penyidik, dan penuntut kemudian diberikan penilaian oleh hakim. Dalam proses hukum, ada kesetaraan antara warga negara dan penegak hukum.

Inilah yang dianut Hukum Acara Pidana Indonesia, penyidikan adalah kegiatan mengumpulkan bukti yang akan membuat terang perkara sehingga kemudian dapat menemukan tersangka. Proses penetapan tersangka itu bukanlah penetapan acak karena penetapan tersangka secara acak niscaya akan sangat merugikan orang kebanyakan atau orang yang tidak mampu membela diri secara baik dengan cara yang baik dan benar.

Sebagaimana dipahami, hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur dan memberikan batasan yang dapat dilakukan penegak hukum atas nama negara dalam proses penyelidikan, penyidikan, hingga proses peradilan dengan metode yang baku untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak individu selama proses hokum berlangsung. Pada hakikatnya, hukum acara pidana adalah aturan hukum untuk melindungi warga negara dari perlakuan sewenang-wenang oleh aparatur penegak hukum atas dugaan melakukan perbuatan pidana. Secara khusus, hukum acara pidana dirancang untuk melindungi dan menegakkan hak-hak konstitusional tersangka dan terdakwa pada saat dimulai penyelidikan, penyidikan, proses peradilan, sampai pelaksanaan hukuman atau eksekusi.

Oleh karena itu, hukum acara tersebut menerapkan standar proses hukum yang sesuai dengan rasa keadilan dan keadilan itu sendiri. Pada negara yang menganut demokrasi, hukum tidak digunakan untuk memberangus keadilan yang seharusnya ditegakkan dan dipelihara atau untuk membatasi dan menghancurkan hak-hak yang seharusnya dijunjung tinggi. Adalah benar bahwa hukum acara itu bukan untuk memanjakan orang yang diduga bersalah, melainkan untuk melindungi orang tidak bersalah dari ancaman hukuman. Perlindungan terhadap orang diduga bersalah atau terdakwa yang menjalani proses hukum pada hakikatnya sebagai kebajikan pendekatan dalam proses hukum karena lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum seseorang yang tidak bersalah dan menderita secara tidak adil. Perlindungan yang diberikan hukum acara pidana ini, termasuk perlindungan dari tindakan pencarian bukti kesalahan yang tidak masuk di akal dan menjurus pada unfair prejudice atau penyitaan terhadap barang dengan cara melanggar hukum dalam proses penyelidikan dan penuntutan yang tidak berdasarkan atas hukum serta proses peradilan yang memihak.

Dalam suatu proses hukum, aparat penegak hukum diberi kewenangan untuk menegakkan hukum kepada siapa saja yang disangka melanggar hukum. Tidak ada perbedaan. Meskipun demikian, negara hanya dapat melakukan tindakan terhadap individu yang diduga melakukan suatu tindak pidana berdasarkan bukti-bukti yang sah sesuai ketentuan UU. Di sisi lain ada kewajiban dari negara, terutama pemerintah dan penegak hukum untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya.

Menurut Gustav Radbruch, jika hukum positif isinya tidak adil dan gagal untuk melindungi kepentingan rakyat, UU seperti ini cacat secara hukum dan tidak memiliki sifat hukum sebab hukum itu pada prinsipnya untuk menegakkan keadilan.

Dalam perkara praperadilan, tanggung jawab negara, terutama pemerintah untuk melindungi warga negaranya dari penetapan sebagai tersangka secara semenamena telah dialihkan kepada hakim sebagai penafsir UU. Ini sangat naif karena Negara dan pemerintah gagal dalam melaksanakan tanggung jawab mereka untuk melindungi warga negaranya. Pergeseran tanggung jawab negara dan pemerintah tersebut, jika itu terjadi, pada akhirnya berfungsi untuk melemahkan kebebasan yang diberikan oleh UUD sebab pergeseran tanggung jawab tersebut memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat dari setiap hakim yang akan berujung pada tidak adanya kepastian hukum.

Dalam kaitannya dengan praperadilan, KUHAP membatasi sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan, yakni ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Tidak termasuk penetapan tersangka, padahal penetapan tersangka itu ialah induk dari upaya paksa, dengan ditetapkan sebagai tersangka, seseorang dapat ditangkap, ditahan, dan dituntut. Dengan kekosongan hukum, tidak tegasnya tempat menguji penetapan tersangka. Kalau dianggap tidak jelas dasarnya bahkan tidak berdasarkan atas hukum, tentu harus dibuka pintu masuknya melalui praperadilan.

Dengan membuka pintu masuk, menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka. Inilah yang dilakukan dalam praperadilan Budi Gunawan dan Hakim Sarpin Rizaldi sebagai penafsir UU membuka pintu masuk kekosongan hukum melalui putusannya. Makna dari putusan praperadilan itu harus dibaca sebagai kemenangan hukum dan keadilan yang selama ini disembunyikan di balik tembok sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan.

Pada hakikatnya, pengujian penetapan tersangka melalui praperadilan agar ada tafsir yang jelas atau batasan yang pasti mengenai keabsahan penetapan tersangka sehingga pelanggaran terhadap HAM atas nama penegakan hukum tidak terjadi terus-menerus. Oleh karena itu, hukum untuk mengatur manusia agar hak-haknya terlindungi, harkat dan martabatnya dijunjung tinggi karena hukum itu bukan untuk merendahkan harkat dan martabat manusia.