Landasan hukum untuk penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di luar pengadilan dimulai dengan UU No 25 Tahun 2000 tentang Propernas. Bab IV butir C 3,4,2 UU tersebut menegaskan bahwa debitor yang telah menandatangani MSAA dan telah melaksanakan kewajiban sesuai MSAA harus diberikan jaminan kepastian hukum.
Hal ini dikuatkan oleh Tap MPR No X/MPR/2001 bahwa presiden bertugas menetapkan kebijakan dan mengambil langkah konkret dalam percepatan pemulihan ekonomi. Tap MPR No VI/MPR/2002 pun memberi rekomendasi kepada presiden untuk meningkatkan kepastian hukum atas tugas sesuai Tap MPR No X/MPR/2001.
Dengan landasan hukum tersebut, akhirnya presiden (waktu itu) mengambil kebijakan penyelesaian BLBI dengan Inpres No 8 Tahun 2002 sebagai upaya memberikan kepastian hukum bagi pemegang saham yang telah melaksanakan kewajibannya, berupa pemberian release and discharge. Terhadap pemegang saham yang mempunyai masalah pidana pun dilakukan penghentian proses pidananya. Kepada para pemegang saham itu diberikan juga Surat Keterangan Lunas (SKL) oleh BPPN dan SP3 oleh Jaksa Agung.
Penyelesaiannya dianggap tidak adil. Untuk menegakkan keadilan dituntut agar para pemegang saham bank diadili dan dihukum dengan hukuman yang tinggi.
Dengan tuntutan yang tiada henti, akhirnya Kejaksaan Agung melakukan penyelidikan terhadap kasus BLBI terkait dengan BDNI dan BCA. Akhir penyelidikan menyatakan BDNI dan BCA tidak melakukan perbuatan melawan hukum yang mengarah ke tindak pidana korupsi.
Sekarang, penyelidikan BLBI oleh Kejaksaan Agung menuai perkara baru yang hiruk-pikuk, mengharu-biru pemberitaan, bahkan dapat meluluhlantakkan Gedung Bundar sebagai simbol pemberantasan korupsi Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dan Direktur Penyidikan Pidana Khusus dialihtugaskan karena diduga terkait masalah pemberian kemudahan supaya terjadi pembayaran “gratifikasi” yang sempat dibantah sebagai pinjaman untuk bisnis.
Kita percaya apa yang menimpa Kejaksaan Agung ini bukan gambaran nyata tentang pemberantasan korupsi di Kejaksaan Agung. Ini bukan pula kutukan kepada pemerintahan SBY-JK dan Kejaksaan Agung yang menggali kuburan BLBI yang telah dikubur oleh pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Apa yang terjadi pada Kejaksaan Agung adalah proses manusiawi. Kejadian ini tidak akan sampai menghancurkan kredibilitas institusi kejaksaan. Dan, memang, institusi kejaksaan tidak boleh dihancurkan.
Tentu berlebihan dan menghina kemanusiaan jika kita tidak pernah mau mempercayai apa yang disampaikan oleh pejabat Kejaksaan Agung. Sebenarnya, menjadikan percakapan mantan pejabat kejaksaan dengan orang yang diduga melakukan perbuatan pidana sebagai “nada panggilan telepon”, akan mengingatkan orang bahwa ada hukuman secara sosial. Tetapi menghukum orang tidak sesuai dengan kejahatannya merupakan bentuk dari kejahatan terhadap kemanusiaan.