Keserakahan Para Petinggi

Dalam bukunya CORRUPTION – A Short History, Carlo Alberto Brioschi (hal 39) menyatakan “THE ACRONYM R.O.M.A.—standing for “radix omnium malorum avaritia” yang secara harfiah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris , “Greed is the root of all evil” dan kalau diterjemahkan secara bebas berarti “keserakahan adalah akar dari segala kejahatan”.

Suap-menyuap  itu adalah sejarah yang panjang, sulit untuk diingkari dan keberadaan suap-menyuap  itu sama tuanya dengan pemerintahan di dunia ini. Keniscayaan suap-menyuap  hampir tidak bisa dibantah. Bahkan ada yang mengatakan bahwa salah satu warisan manusia yang tidak pernah hilang berkenaan dengan pemerintahan adalah suap-menyuap, selain kebaikan dan kemaslahatan. Suap-menyuap  karena serakah atau suap-menyuap karena kebutuhan.

Keberadaan suap-menyuap bukan karena kekurangan ulama dan cerdik pandai, ahli moral atau etika, atau karena tidak ahli yang memahami akibat dari suap-menyuap terhadap ekonomi bangsa dan bukan pula karena tidak adanya pengetahuan bahwa suap-menyuap itu dilarang oleh agama. Dalam faktanya suap-menyuap itu telah melampaui segalanya,   lintas waktu, lintas budaya, bahkan lintas  agama. Dan suap-menyuap itu terjadi dimana-mana, dinegara kaya atau negara miskin, di negara demokratis dan dinegara tidak demokratis, meskipun tentu gradasinya berbeda.

Dalam beberapa bulan terakhir ini, hampir setiap hari kita disuguhi berita beberapa orang pejabat tinggi terlibat korupsi. Ada yang diberita terima suap, ada pula yang diributkan melakukan pemerasan.

Sederetan nama mulai dari Hakim Agung Gazalba Saleh, Hasbi Hasan Sekretaris MA, Syahrul Yasin Limpo Mantan Menteri Pertanian dan yang  terbaru yang juga menjadi gegap gempita adalah berita penetapan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menjadi tersangka oleh KPK, karena “katanya” menerima suap atau gratifikasi. Bahkan diberitakan pula turut memaksa meminta menyerahkan saham.

Beririsan dengan penetapan SYL sebagai Tersangka ini, meruak pula pemberitaan bahwa ada pula pemerasan yang dilakukan oleh FB terhadap SYL. Berita ini gencar setelah muncul foto pertemuan FB dan SYL di lapangan Bulu Tangkis. Diberitakan FB diperiksa oleh Subdit Tipidkor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya  yang  berlangsung di Bareskrim Polri dan sudah ditetapkan sebagai Tersangka yang berujung pada pemberhentian sementara. Kemudian mantan pimpinan KPK menggunduli kepala sebagai tanda suka cita.

Apakah semua berita ini menjadi bukti bahwa ada keserakahan yang dipertontonkan oleh orang-orang besar di negeri ini, sejarahlah yang akan membuktikannya, meskipun pengadilan sudah menyatakan bahwa Hakim Agung Gazalba Saleh tidak terbukti menerima suap sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK.

Dibebaskannya Hakim Agung Gazalba Saleh ini, seharusnya menjadi tolok ukur dalam menilai kelayakan satu perkara atau  masalah menjadi penyuapan. Sekurang-kurangnya bukti permulaan secara materiel harus ada dan nyata bukan hanya berdasarkan asumsi dengan bersandar pada pendapat ahli yang tidak kredibel.

Cerita tentang suap

Dalam bukunya Robert Francis Harper, The Code of Hammurabi King of Babylon (1904), dinyatakan, “If a man (in case) bear witness for grain or money (as a bribe) he shall himself bear the penalty imposed in that case”. Artinya pemberi suap akan menanggung hukuman akibat perbuatannya.

John T. Noonan menulis buku Bribes (1984), yang menceritakan tentang kejadian yang melibatkan suap menyuap yang dilakukan oleh Gimil Ninurta terhadap seorang Walikota. Satu cerita yang terjadi pada tahun 1500 SM. Dikatakan bahwa inti dari suap itu adalah bujukan atau pengaruh yang tidak semestinya. Suap itu adalah spesies yang timbal balik. Sehingga tidak ada suap kalau tidak ada timbal balik.

Sementara itu Roger W Shuy (2013), menyatakan di Perancis abad pertengahan kata “penyuapan” berasal dari pemberian sepoting roti kepada pengemis. Perubahan baru terjadi pada abad keenam belas yang bermakna yang meminta uang, kemudian berubah maknanya sesuatu yang dianggap sebagai bujukan sukarela menjadi sesuatu yang diminta dan diperoleh melalui ancaman atau paksaan. Pengertian suap dewasa ini meliputi penawaran dan pemberian suap serta pemerasan atau permintaan suap dari pihak lain.

Ada satu ungkapan Latin terkait dengan suap menyuap ini “quid pro quo” yang acapkali dimaknai sebagai sesuatu yang diberikan atau diterima untuk sesuatu yang lain. Dalam praktik hukum bahwa terjadi suap menyuap kalau ada timbal balik, orang menyerahkan sesuatu, karena mendapat kemudahan. Bahkan tidak jarang dikatakan membayar untuk mendapatkan hak.

Dengan demikian sebenarnya terlihat dengan jelas bahwa suap menyuap itu selalu terkait dengan pejabat publik  dalam bentuk keuntungan atau juga bisa dalam bentuk pelayanan. Dalam arti ada pertukaran dibalik tindakan resmi.

Hal yang pasti dalam praktik hukum kalau pertukaran antara pejabat publik dan anggota masyarakat karena inisiatif dari pejabat publik, maka kemungkinan akan dimaknai sebagai perbuataan  pemerasan, tetapi kalau pengaruhnya lebih banyak dari anggota msyarakat akan menjadi suap memyuap.

Penutup

Dalam ketentuan UU Tipikor, kegiatan suap menyuap sebagai satu perbuatan diatur dengan sejumlah pasal. Pasal 5 untuk pemberi dan penerima, Pasal 11 untuk penerima, Pasal 13 untuk pemberi., Pasal 12 a,b untuk penerima dan Pasal 12 B untuk penerima gratifikasi yang tidak lapor.

Pasal yang banyak untuk menjerat satu perbuatan ini, tidak tau apa maksudnya. Kalau kita bandingkan dengan hukum pidana Belanda yang pada pokoknya  menganal suap pasif dan suap aktif. Artinya pasal trntang suap dalam UU kit aitu terlalu banyak dan dapat ditafsirkan dan digunakan begitu saja oleh penggunanya.

Hal yang perlu mendapat perhatian dengan jelas, apakah dalam perkara yang disebutkan diatas tadi memang sebagai perkara suap yang terjadi karena serakah atau hanya dilekatkan begitu saja kepada orang tanpa ada bukti yang cukup, sebab sudah tidak suka melihat wajah orang itu lagi, seperti terjadi pada Hakim Agung Gazakba Saleh yang didakwa menerima suap tanpa ada bukti penerimaan suap.

Sudah saatnya kaji ulang terhadap penetapan Tersangka suap, karena ada orang mau melepaskan diri dengan menuding orang lain.

Meskipun kita tetap harus percaya bahwa keserakahan itu memang ada dan orang bergaya hidup melebihi pendapatan itu terlihat dengan jelas. Namun kita tidak boleh berprasangka buruk, karena bisa jadi untuk menunjang kehidupan yang baik itu orang harus  pakai pinjol.

Artikel ini sudah pernah dipublikasikan di surat kabar online Tempo pada hari Kamis, 30 November 2023.