KPK Tidak Konsisten dengan Temuan Hasil Audit BPK

Dalam simpulan “Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Dalam Rangka Penghitungan Kerugian Negara Atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham / Surat Keterangan Lunas Kepada Sdr. Sjamsul Nursalim Selaku Pemegang Saham Pengendali BDNI pada Tahun 2004 Sehubungan dengan Pemenuhan Ke-wajiban Penyerahan Aset oleh Obligor BLBI kepada BPPN “Nomor 12/LHP/XXI/08/2017 tanggal 25Agustus 2017” (“Laporan AuditInvestigasi BPK 2017”), dinyatakan antara lain bahwa, “Badan Pemeriksa Keuangan telah melaksanakan pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara atas dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham / Surat Keterangan Lunas kepada Sdr. Sjamsul Nursalim (SN) selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada tahun 2004.

BPK menyimpulkan adanya penyimpangan dalam pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham / Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada SN. Hal ini terjadi karena, ada “kesalahan representasi dari nilai hutang BDNI kepada petambak yang seharusnya menjadi kewajiban SN sebesar Rp. 4.800.000.000.000,00 (empat triliun delapan ratus miliar rupiah)” dikurangi hasil penjualan piutang tersebut di Tahun 2007 sebesar Rp. 220.000.000.000,00 ( dua ratus dua puluh miliar rupiah)”. Dengan hasil penjualan piutang oleh PT PPA ini, menurut BPK telah terjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun;

Ketika KPK mendakwa SAT dihadapan Pengadilan Tipikor Jakarta, selisih penjualan inilah yang dikatakan sebagai kerugian keuangan negara. Terjadi kerugian keuangan negara karena SAT selaku Ketua BPPN menerbitkan Surat Keterangan Lunas sebagai bentuk penyelesaian administrative berhubungan dengan penyelesaian MSAA sesuai Inpres No 8 Tahun 2002. Dalam upaya memperkarakan dan menghukum SAT, maka KPK menggunakan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUUHP untuk mendakwanya. Sebagai bukti adanya kerugian keuangan negara maka KPK meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan investigatif di tahun 2017;

Nama yang Hilang

Dalam Laporan BPK ini pihak yang diduga terkait penyimpangan dalam pemberian keterangan lunas dinyatakan ada empat nama yaitu SAT, SN, DKJ dan LS. LS selaku Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, yang diduga menyetujui pemberian bukti penyelesaian sesuai dengan perjanjian PS dan BPPN berdasarkan Surat Nomor.S-150/MBU/2004 tanggal 24 Maret 2004. Memang hanya ini perannya menurut laporan, tidak ada yang lain. Bahan dalam surat dakwaan SAT, nama LS tidak muncul sebagai kawan peserta.

Hanya saja memang dalam pusaran perkara yang bergulir, LS tidak pernah disebut lagi kawan peserta melakukan perbuatan pidana yang diduga ikut merugikan keuangan negara. Justru ISN sebagai isteri SN yang menjadi Kuasa SN dalam penyelesaian administratif MSAA yang menjadi salah seorang tersangka. Bahkan dalam berbagai keterangan pimpinan KPK maupun Jurubicara KPK, beberapa kali dikeluarkan himbauan agar SN dan isterinya ISN menyerahkan diri. Seolah-olah sudah menjadi terpidana yang secara sengaja melarikan diri dari rumah tahanan atau melarikan diri ketika hendak dieksekusi.

Hilangnya nama LS dan masuknya nama ISN sebagai orang yang diduga sebagai kawan peserta dalam perkara pidana terkait SKL ini adalah bentuk anomali yang dilakukan oleh KPK. Bisa jadi alasan KPK bahwa ISN telah ikut diuntungkan, karena suaminya diduga diuntungkan dalam proses penyelesaian administratif MSAA. Ini sungguh satu tafsir yang keliru dan tidak masuk diakal. Inilah simplifikasi hukum acara pidana yang menyesatkan. Dan sudah barang tentu ini dapat dikategorikan sebagai sikap yang tidak “jujur” dalam menggunakan hasil audit BPK. Yang pasti pemeriksaan investigatif yang dilakukan oleh BPK, hanya bersumber dari KPK, tidak ada konfirmasi kepada pihak terkait termasuk SN. Kalau simplifikasi tafsir seperti yang dilakukan KPK ini dibiarkan, maka tidak tertutup kemungkinan satu waktu Anak dan Cucu SN juga akan dituntut, karena telah diuntungkan oleh SKL yang diterbitkan oleh BPPN.

Adalah benar menurut hukum, bahwa penetapan seorang tersangka dalam perkara korupsi oleh KPK didasarkan pada laporan penyelidik kepada pimpinan KPK. Tentu KPK dapat menjelaskan bahwa penetapan ISN sebagai tersangka, karena ada bukti permulaan yang cukup bahwa ISN telah mendapatkan keuntungan dari SKL yang diterbitkan oleh BPPN. Atau bisa juga karena ISN telah mewakili SN dalam melakukan penyelesaian MSAA, namun hal yang boleh dilupakan bahwa kedudukan ISN sebagai Kuasa dari  SN terbatas pada melakukan tindakan hukum untuk kepentingan SN, bukan untuk kepentingan bersama.

Sangkaan untuk Ganti Rugi

KPK secara sengaja dan tendensius menerangkan dan merumuskan perbuatan pidana yang dilakukan SN dan ISN serta secara bersama-sama dengan SAT, sebab dengan dinyatakan bahwa perbuatan pidana dilakukan secara bersama-sama, maka KPK baru dapat mendakwa SN dan ISN dan kemudian nanti meminta agar Hakim menghukum SN dan ISN untuk membayar uang pengganti. Meskipun sebenarnya kalau tidak mau terlalu repot untuk mengejar SN secara pidana, KPK bisa saja meminta pemerintah untuk menuntut SN secara perdata, karena ada masalah misrep dalam penyerahan asset sesuai dengan MSAA. Hal ini tidak dilakukan, tentu KPK mempunyai alasan yang sah menurut mereka.

Meskipun bisa diduga, KPK menarik perkara SN digandeng dengan SKL, karena KPK menyadari bahwa Perjanjian MSAA yang dibuat dan ditanda tangani oleh BPPN dan Sjamsul Nursalim terjadi pada tanggal 25 Mei 1999. Sehingga jika ada perbuatan pidana terkait dengan perjanjian MSAA, maka perbuatan pidana telah kadaluwarsa. Akibat adanya kadaluwarsa itu, maka secara hukum tidak ada yang dapat dibuktikan menurut hukum pidana ada kerugian keuangan negara. Selain itu disadari pula oleh KPK bahwa berdasarkan MSAA SN telah menerima Release and Discharge (R & D) dari pemerintah, oleh karenanya tidak bisa dituntut secara perdata maupun secara pidana.

Dengan menarik SN dan ISN kedalam perkara SKL, maka KPK secara hukum akan menuntut SN untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 4,58 triliun, yaitu hutang petambak yang dianggap merugikan keuangan negara, akibat aset yang diserahkan oleh SN djual dengan harga yang murah oleh PPA.

Jika ada pembayaran uang pengganti, maka hal ini akan menjadi prestasi dan sebagai legacy yang luar biasa dari pimpinan KPK yang sudah akan berakhir, karena mampu “mengembalikan kerugian keuangan negara”, meskipun tidak dilakukan menurut MSAA yang telah disepakati oleh pemerintah dan obligor BLBI.

Artikel ini sudah pernah dipublikasikan di surat kabar Harian Ekonomi Neraca pada hari Senin 17 Juni 2019.