Konsep trias politica yang dikembangkan oleh Montesquieu membagi kekuasaan negara ke dalam tiga cabang; badan legislatif yang bertugas membuat peraturan, badan eksekutif yang menjalankan peraturan, dan badan yudisial yang bertugas mengawasi dan mengadili proses penerapan peraturan. Konsep ini diterapkan secara implisit di Indonesia; dengan kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh DPR, MPR dan DPD, kekuasaan eksekutif oleh Presiden, dan kekuasaan yudikatif oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi serta lembaga peradilan lain di bawahnya. Meskipun demikian, secara prakteknya ada cukup banyak tumpah tindih dalam pelaksanaan tiga cabang kekuasaan oleh berbagai lembaga tersebut, salah satunya dalam peran Mahkamah Agung menyusun peraturan perundang-undangan. Hal inilah yang akan dijadikan fokus makalah ini, dengan melihat secara lebih dekat peranan Mahkamah Agung dalam membentuk peraturan perundang-undangan dan melaksanakan peran legislatif yang bukan berada dalam lingkup perannya sebagai lembaga yudisial.
Kewenangan Penyusunan Peraturan oleh Mahkamah Agung
Pasal 24A UUD 1945 menyatakan bahwa wewenang Mahkamah Agung termasuk untuk mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang.
Wewenang Mahkamah Agung lain tersebut salah satunya diberikan oleh Undang-undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12/2011). Menurut UU No. 12/2011, peraturan perundang-undangan di Indonesia terdiri atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota[1]. Selain ketujuh instrumen hukum tersebut, UU No. 12/2011 lebih lanjut menyatakan bahwa instrumen lain yang diterima sebagai peraturan perundang-undangan adalah peraturan yang ditetapkan oleh lembaga lain, termasuk Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi[2]. Peraturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan[3].
Selain UU No. 12/2011, Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2004 dan Undang-undang No. 3 tahun 2009 (UU MA) menerangkan lebih lanjut mengenai wewenang Mahkamah Agung, termasuk dalam pembentukan peraturan. Mahkamah Agung diberikan wewenang antara lain untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan[4] dan juga untuk memberi petunjuk, tegoran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan[5]. UU MA juga menyatakan Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam UU MA tersebut[6].
Produk Hukum Mahkamah Agung
Landasan-landasan hukum di ataslah yang digunakan oleh Mahkamah Agung sebagai dasar bagi mereka dalam mengeluarkan berbagai produk hukum dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Fatwa Mahkamah Agung dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA). PERMA adalah peraturan dari prinsip Mahkamah Agung yang ditujukan ke selutuh jajaran peradilan tertentu yang berisi ketentuan bersifat hukum acara peradilan, sedangkan SEMA merupakan surat edaran dari pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang bersifat administratif[7]. Fatwa Mahkamah Agung memuat pendapat Mahkamah Agung yang diberikan atas permintaan suatu lembaga negara, dan SK KMA merupakan surat keputusan yang dikeluarkan Ketua Mahkamah Agung mengenai hal-hal tertentu.
Penciptaan Norma Baru dalam Produk Hukum Mahkamah Agung
Dari deskripsi produk-produk hukum Mahkamah Agung di atas, sudah seharusnya berbagai instrument tersebut digunakan untuk mengatur Mahkamah Agung dan sistem peradilan secara internal, dengan pengecualian Fatwa Mahkamah Agung. Namun pada prakteknya, sering kali produk hukum seperti PERMA dan SEMA berdampak menciptakan norma hukum baru yang seharus berada di luar lingkup kekuasaan Mahkamah Agung sebagai badan yudisial.
Salah satu contohnya dimuat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan tanggal 12 September 2012 (SEMA No. 7/2012).
Pada rapat kamar pidana Mahkamah Agung 8 hingga 12 Maret 2012 yang dicatat dalam SEMA No. 7/2012, kamar pidana Mahkamah Agung di antaranya menjawab dua pertanyaan sehubungan dengan Pasal 2 dan 3 dari Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyatakan sebagai berikut:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Sedangkan Pasal 3 UU Tipikor menyatakan sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Dua pertanyaan yang dihadapi oleh kamar pidana Mahkamah Agung adalah sebagai berikut. Pertama, apakah Pasal 2 UU Tipikor hanya berlaku terhadap terdakwa yang berstatus bukan pegawai negeri dan Pasal 3 berlaku terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara. Kedua, bagaimana pengadilan harus menyikapi keadaan di mana terdakwa seorang penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana dengan kerugian negara yang besar hanya didakwa dengan Pasal 3 UU Tipikor yang memiliki sanksi pidana lebih ringan dan tidak Pasal 2 UU Tipikor yang memuat sanksi yang lebih serius.
Terhadap pertanyaan pertama, SEMA No. 7/2012 menyatakan bahwa Pasal 2 dan 3 UU Tipikor diperuntukkan pada setiap orang, baik swasta maupun pegawai negeri, sehingga keduanya berlaku bagi pegawai negeri maupun bukan pegawai negeri[8]. Jawaban mengenai lingkup dari Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor seperti ini jelas tidak bersifat administratif maupun berkenaan dengan hukum acara pidana, namun merupakan suatu bentuk penafsiran Undang-Undang oleh Mahkamah Agung. Penafsiran akan suatu ketentuan di dalam Undang-Undang sepatutnya dilakukan melalui putusan pengadilan yang kemudian menjadi yurisprudensi agar dapat menghasilkan kepastian hukum yang dijamin oleh UUD 1945.
Terhadap pertanyaan kedua, SEMA No. 7/2012 menyatakan bahwa apabila unsur memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dalam Pasal 2 UU Tipikor tidak terbukti, maka seorang terdakwa akan dikenakan Pasal 3, dengan ambang batas minimal seratus juta Rupiah. Menurut Mahkamah Agung, adalah tidak adil apabila menjatuhkan pidana bagi terdakwa yang hanya merugikan keuangan negara di bawah seratus juta Rupiah dikenakan sanksi minimal Pasal 2 UU Tipikor yaitu pidana 4 tahun dan denda dua ratus juta Rupiah[9]. Penetapan batasan jumlah kerugian negara terhadap Pasal 2 dan Pasal UU Tipikor merupakan perluasan dari isi suatu Undang-undang, dan dalam SEMA No. 7/2012 ini Mahkamah Agung telah menambahkan norma baru terhadap kedua pasal UU Tipikor, yang seharusnya dilakukan melalui perubahan Undang-Undang dan tidak melalui surat edaran Mahkamah Agung.
SEMA No. 7 tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana (SEMA No. 7/2014) juga merupakan salah satu contoh bentuk penerapan kekuasaan Mahkamah Agung di luar lingkup yang telah diberikan kepadanya oleh Undang-Undang.
Pasal 268 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa “Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”. Pasal ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014, dalam mengabulkan permohonan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar untuk diperbolehkan mengajukan permohonan peninjauan kembali setelah permohonan mereka sebelumnya ditolak oleh Mahkamah Agung. Setelah dilakukannya pembatalan Pasal 268 ayat (3) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi tersebut, maka permohonan peninjauan kembali sepantasnya dapat diajukan lebih dari satu kali selama persyaratan dalam KUHAP telah dipenuhi.
Namun Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan SEMA No. 7/2014 yang mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dan mengatur di dalamnya bahwa permohonan peninjauan kembali hanya bisa diajukan satu kali. Pertimbangan Mahkamah Agung adalah bahwa ketentuan yang melarang pengajuan peninjauan kembali lebih dari satu kali tidak hanya terdapat dalam KUHAP yang pasalnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, dan ketentuan tersebut juga diatur dalam Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU MA. Meskipun demikian, Mahkamah Agung mengakui bahwa peninjauan kembali dapat diajukan lebih dari sekali apabila ada dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang isinya saling bertentangan atas obyek perkara yang sama.
Sekali lagi penetapan mengenai apakah suatu permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali tidak bersifat administratif ataupun bersifat hukum acara. Saat Mahkamah Konstitusi melaksanakan apa yang memang berada dalam lingkup kewenangan mereka dengan menetapkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak konstitusional dan kemudian membatalkannya, respon hukum yang seharusnya terjadi adalah penghapusan norma yang dianggap tidak konstitusional tersebut dari Undang-Undang lain selain KUHAP. Sedangkan yang terjadi adalah diterbitkannya suatu surat edaran Mahkamah Agung yang bertentangan dengan isi dari putusan Mahkamah Konsitusi dan menghasilkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam SEMA No. 7/2012 dan SEMA No. 7/2014, Mahkamah Agung telah melebihi batasan kekuasaan yang telah diberikan kepadanya karena tidak lagi memuat pemberian petunjuk, tegoran atau peringatan ataupun sesuatu yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan sebagaimana diperbolehkan dalam UU MA. Kedua SEMA tersebut menciptakan norma hukum baru yang memiliki dampak langsung pada hak dan kewajiban warga negara, sehingga sudah tidak lagi berada dalam lingkup kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana diberikan dalam UU MA. Penjelasan atas Pasal 79 UU MA menyatakan bahwa peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung harus dibedakan dari peraturan yang disusun oleh pembentuk Undang-Undang. Penjelasan mengenai penyelenggaraan peradilan yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung hanya merupakan bagian dari hukum acara, dan Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya ataupun pembagian beban pembuktian. Jelas dari penjelasan Pasal 79 UU MA tersebut bahwa kewenangan yang diberikan UU MA kepada Mahkamah Agung adalah untuk melakukan pengaturan mengenai hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan. Kewenangan tersebut seharusnya hanya bersifat administratif atau berkaitan dengan pelaksanaan hukum acara, dan berlaku hanya secara internal bagi lembaga peradilan yang dimaksudkan.
Kesimpulan
Pada prakteknya, dalam pelaksanaan fungsi pengaturannya, Mahkamah Agung telah melebihi batasan kekuasan mereka sebagai badan yudisial dan merambah ke pelaksanaan fungsi legislatif. Apabila pendukung kebijakan Mahkamah Agung menyatakan bahwa Mahkamah Agung telah diberikan kewenangan yang sah dalam UU No. 12/2011, sesungguhnya dengan menerapkan prinsip lex specialis derogat legi generali, UU No. 12/2011 yang merupakan hukum yang bersifat umum mengenai peraturan perundang-undangan telah dibatasi oleh UU MA yang lebih khusus berlaku pada Mahkamah Agung. Kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Agung dalam UU No. 12/2011 untuk membentuk peraturan perundang-undangan harus dibaca dan diartikan dengan merujuk pada isi UU MA yang menjelaskan secara lebih khusus apa yang masuk ke dalam lingkup kewenangan Mahkamah Agung dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Berbagai produk hukum yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung sudah tidak lagi bersifat administratif atau sekedar mengatur hukum acara dengan tujuan untuk memperlancar proses peradilan, namun sebagaimana dijabarkan di atas, sudah mencakup dan berdampak pada substansi hak-hak dan kewajiban warga negara yang selayaknya tidak dilakukan oleh badan yudisial.
[1] Pasal 7(1) UU No. 12/2011.
[2] Pasal 8(1) UU No. 12/2011.
[3] Pasal 8(2) UU No. 12/2011.
[4] Pasal 32(3) UU MA.
[5] Pasal 32(4) UU MA.
[6] Pasal 79 UU MA.
[7] Henry P. Panggabean, “Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktek Sehari-hari”, (Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 2001), hlm. 144.
[8] SEMA No. 7/2012, hlm. 21.
[9] Ibid.