Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Pengantar

Hiruk pikuk pesta Demokrasi, khusunya Pilpres sedang luar biasa gegap gempita. Keadaan ini tidak terlepas dari pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden dari Prabowo Subianto, setelah perubahan syarat pencalonan oleh Mahkamah Konstitusi yang diberi label dengan sinisme yang luar biasa menyakitkan sebagai “Mahkamah Keluarga”.

Bisa jadi, salah satu yang bisa digunakan menjadi pokok ujian di MK adalah keabsahan kualifikasi pasangan PS dan GRR, karena cacatnya “Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023”. 

Sebagaimana dinilai oleh Putusan MKMK  bahwa ada “pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim yang telah terbukti dilakukan oleh Hakim Terlapor, Majelis Kehormatan menilai bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah penyimpangan yang melenceng jauh dari koridor lurus yang ditetapkan oleh Sapta Karsa Hutama”. Dengan kata lain putusan ini cacat moral akan tetapi “tidak sanggup untuk dibatalkan” oleh Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Tentang keabsahan kualifikasi ini tentu bisa diperdebatkan, tetapi tulisan ini tidak berkehendak untuk mendiskusikan masalah ini.

Design konstitusional perselisihan hasil Pemilu

Membaca Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, nampaknya para Pakar Hukum yang tergabung dalam PAH I BP MPR 2000, sangat percaya bahwa tidak akan terjadi pelanggaran oleh penyelenggara Pemilihan Umum dan khususnya Pemilihan Presiden.

Ketika membahas Mahkamah Konstitusi kesan yang kental dapat ditangkap dari keterangan atau pendapat anggota PAH I BP MPR 2001 yang mewakili Partai Politik atau Utusan Golongan lebih berfokus kepada memberikan kewenangan untuk mengadili dan memeriksa “hasil pemilihan umum”. Tidak terbaca “pertengkaran yang keras”  bahwa sengketa pemilu atau perkara pemilu itu harus memeriksa proses pemilu yang dilakukan secara adil dan jujur atau tidak. Sepenuhnya terbatas dengan fokus pada hasil penghitungan suara. Seolah-olah sepenuhnya percaya bahwa pelaksanaan Pemilu akan dilakukan secara adil, tanpa ada kecurangan dan tanpa ada manipulasi, tanpa ada rekayasa, karena penyelenggaranya adalah para Malaikat ysng tidak mempunyai kehendak. 

Pasal 68 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden  memberi batasan bahwa pokok perkara di Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden itu adalah keberatan terhadap “hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya Pasangan Calon”. Penjelasannya cukup jelas. Ketentuan ini tidak berubah secara mendasar ketika dilakukan Perubahan UU No. 23 Tahun 2003 dengan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini dapat dibaca pada Pasal 201 ayat (2) yang pada pokoknya menyatakan, “hanya terhadap hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”.

Kemudian asal 475 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dinyatakan bahwa jika terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dapat diajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi, “hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. 

Apa yang hendak ditegaskan dari bacaan hasil diskusi di MPR maupun kemudian yang ditentukan dalam Undang-Undang  berekenaan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam “penyelesaian sengketa pemilu” dan “mengadili perkara pemilu” Presiden, secara substansial dibatasi dengan “hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya Pasangan Calon”.

Maknanya yang lebih tegas bahwa dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden itu harus diterima oleh yang kalah, meskipun dilakukan dengan kecurangan dan penuh rekayasa. Dalam arti tersirat anjuran kepada peserta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berbuat curanglah untuk menang menjadi Presiden dan Wakil Presiden, dengan suara sebanyak-banyaknya, karena Mahkamah Konstitrusi hanya mempunyai kewenangan memerikasa hail penghitungan suara, apalagi dengan selisih suara yang mencapai jutaan. Mahkamah tidak akan memeriksa proses pelaksanaan pemilihan, kalau ada pelanggaran pasti sudah selesai di Bawaslu atau Gakumdu.

Membatalkan hasil Pilpres

Pembatalan hasil pemilihan Presiden oleh Mahkamah Konstitusi atau oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung sudah terjadi dibeberapa negara.

Negara pertama yang membatalkan hasil pemilihan Presiden adalah Austria. Pada pemilihan Presiden tahun 2016 Mahkamah Konstitusi Austria membatalkan hasil pemungutan suara, karena menurut Mahkamah terbukti ada pelanggaran peraturan formal; pemungutan suara yang diberikan melaui pos tidak sah di beberapa daerah; dan Otoritas Pemilu Federal melanggar prinsip kebebasan memilih. Pelangaran-pelanggaran ini dianggap mempunyai pengaruh terhadap hasil pemilihan umum.

Negara lain yang membatalkan hasil pemilihan Presiden adalah Kenya pada tahun 2017. Alasan utamanya pembatalan pemilihan Presiden, karena pemilihan Presiden dilaksanakan tidak sesuai dengan Konstitusi dan Hukum yang berlaku. Penyimpangan dan ketidak beresan dalam pemilihan Presiden sangat besar dan significant sehingga dianggap memepengaruhui integritas pemilu.

Negara terakhir yang membatalkah hasil pemilihan Presiden adalah Malawi Tahun 2019. Alasan utama dari Pengadilan Tinggi untuk membatalkan prmilihan Presiden di Malawi, karena telah ditemukan ketidak beresan dan keganjilan yang meluas, sistematis dan serius, sehingga integritas pemilu tidak dapat diterima dan pemilu tidak dapat dipercaya. Tindakan yang tidak semestinya telah terjadi selama pemilu secara kualitatif dan secara kuantitatif. Bahkan penyelenggara pemilu dianggap terbukti tidak mampu menyelenggarakan pemilu sesuai dengan hukum. Hal yang paling ganjil menurut Mahkamah Agung Malawi, terjadi banyak penyimpangan yang meresahkan, seperti terjadinya koreksi yang menggunakan  “tippex” pada lembar perhitungan yang dianggap sebagai perhitungan illegal. 

Dari apa yang dikemukan diatas jelas dan terang bahwa pembatalan terhadap hasil pemilihan Presiden adalah satu keniscayaan, kalau pelaksanaan  pemilih Presiden itu dilakukan dengan melanggar hukum, sehingga menimbulkan keganjian yang mempengaruhi integritas pemilu. Dengan kata lain pentingnya  pemilihan umum dilaksanakan dengan jujur dan menjunjung tinggi integritas pemilihan umum itu untuk ditegakkan dan kalau itu tidak dilakukan, maka konsekwensinya pemilihan Presiden itu harus dibatalkan.

Penutup

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, berani keluar dari pakem, yaitu membatalkan hasil Pemilihan umum jika terjadi pelanggarran undang-undang dalam  penyelenggaraan pemilu tanpa menunggu pembuktian pelanggaran yang dilakukan terstruktur, sistematis dan masif. Cukup dengan adanya bukti pelanggaran Pemilu yang menjadikan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak bermartabat dan merusak kredibilitas serta integritas pemilu yang bersih, adil dan bersamaan.

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia. Kita bukan menunggu Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga dan Mahkamah “yang memalukan” seperti julukan yang  pernah diberikan kepada Mahkamah Konstitusi Belarus sebagaimana dicacat oleh Wojciech Sadurski (2014).

Membatalkan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan dengan curang dan penuh tipu daya adalah satu keniscayaan

Artikel ini sudah pernah dipublikasikan di surat kabar online Tempo pada hari Senin 15 Januari 2024.