Kawasan Tanpa Rokok – Apa yang Kurang?

Semua orang berhak atas udara bersih dan segar. Namun pada kenyataannya hingga sekarang masih sulit ditemukan di Indonesia tempat yang sepenuhnya bebas dari bau atau asap rokok. Meskipun kawasan tanpa rokok merupakan salah satu wacana yang digaungkan oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir, pada kenyataannya masih banyak terlihat orang merokok tanpa peduli akan keadaan sekitar. Melalui makalah ini penulis ingin mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mengadakan dan menegakan kawasan tanpa rokok, dan mempertimbangkan langkah-langkah lain yang mungkin bisa diambil oleh pemerintah agar wacana tersebut tidak menjadi sekedar teori belaka.

Perundang-undangan yang berlaku

Keberadaan kawasan tanpa rokok diatur di Indonesia dalam berbagai perangkat hukum antara lain Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU No. 36/2009), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (PP No. 109/2012), dan Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/Menkes/PB/I/2011 Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (PB No. 7/2011).

Selain dari peraturan yang berlaku dengan lingkup nasional, di DKI Jakarta, pengaturan mengenai hal serupa terdapat dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Perda No. 2/2005), Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Larangan Merokok sebagaimana dirubah oleh Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 88 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Larangan Merokok (Pergub No. 75/2005), dan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan, Pengawasan dan Penegakan Kawasan Dilarang Merokok (Pergub No. 50/2012).

Kawasan tanpa rokok dan kawasan dilarang merokok

Berdasarkan perundang-undangan yang disebut di atas, pemerintah dan pemerintah daerah diwajibkan mewujudkan apa yang disebut “Kawasan Tanpa Rokok” [1]. Kawasan Tanpa Rokok diartikan sebagai ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau [2]. Dalam konteks peraturan di Jakarta, pengaturan ini seperti dipersempit karena Pergub No. 75/2005 dan Pergub No. 50/2012 menggunakan istilah “kawasan dilarang merokok” yang diartikan sebagai ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk merokok [3].

Tempat-tempat yang ditetapkan menjadi kawasan tanpa rokok atau kawasan dilarang merokok adalah fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan [4].

Menurut PP No. 39/2012, yang dimaksud dengan “tempat umum” adalah “semua tempat tertutup yang dapat diakses oleh masyarakat umum dan/atau tempat yang dapat dimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat yang dikelola oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat, sedangkan “tempat lainnya” adalah “tempat terbuka tertentu yang dimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat” [5]. Pergub No. 75/2005dan Pergub No. 50/2012 bahkan secara lebih spesifik mendefinisikan “tempat umum” dengan memberikan contoh seperti gedung perkantoran umum, balai pertemuan, terminal angkutan umum termasuk terminal busway, bandara, stasiun, mall, pusat perbelanjaan, pasar serba ada, pasar tradisional, hotel, restoran, tempat rekreasi, tempat olahraga dan sejenisnya [6].

Khusus untuk fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum penyelenggara tempat-tempat tersebut dilarang untuk menyediakan tempat rokok terpisah dan tempat-tempat tersebut harus menjadi tempat yang bebas dari asap rokok hingga batas terluar [7]. Artinya, larangan untuk merokok di tempat-tempat tersebut bersifat absolut dan menyeluruh. Selain itu, para penyelenggara tempat kerja, tempat umum dan tempat lainnya diperbolehkan untuk menyediakan tempat khusus untuk merokok [8] yang memenuhi ketentuan sebagai berikut [9]:

  1. merupakan ruang terbuka atau ruang yang berhubungan langsung dengan udara luar sehingga udara dapat bersirkulasi dengan baik;
  2. terpisah dari gedung/tempat/ruang utama dan ruang lain yang digunakan untuk beraktivitas;
  3. jauh dari pintu masuk dan keluar; dan
  4. jauh dari tempat orang berlalu-lalang.

Pengawasan pelaksanaan dan sanksi pelanggaran

PB No. 7/2011 menempatkan tanggung jawab kepada Menteri Dalam Negeri untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan umum sehubungan dengan pelaksanaan kawasan tanpa rokok, sedangkan Menteri Kesehatan bertanggung jawab untuk menjalankan pembinaan dan pengawasan teknis atas hal tersebut [10]. Selain dari itu, para gubernur dan bupati atau walikota juga diwajibkan melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan kawasan tanpa rokok di kabupaten/kota atau desa/kelurahan mereka masing-masing [11].

Di DKI Jakarta, pengawasan sehubungan pelaksanan kawasan tanpa rokok dilaksanakan oleh berbagai perangkat Provinsi DKI Jakarta seperti Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah, Dinas Kesehatan, Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Perhubungan, Dinas Sosial, dan para Walikotamadya/Bupati [12]. Hasil pengawasan oleh berbagai perangkat daerah tersebut wajib dilaporkan kepada Gubernur DKI Jakarta setiap 3 bulan sekali atau sesuai dengan kebutuhan [13].

Dengan pengawasan yang seharusnya dilaksanakan secara berlapis tersebut, maka setiap pelanggaran tentunya dapat dengan mudah diketahui dan dikenakan sanksi yang berlaku. UU No. 36/2009 menjadikan pelanggaran ketentuan kawasan tanpa rokok sebagai tindak pidana dengan denda maksimal sebesar Rp50.000.000 [14]. Selain itu, di DKI Jakarta, pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat yang ditetapkan sebagai kawasan dilarang merokok apabila terbukti membiarkan orang merokok di kawasan dilarang merokok, dapat dikenakan sanksi administrasi berupa peringatan tertulis, penyebutan nama tempat kegiatan atau usaha di media massa, penghentian sementara kegiatan atau usaha dan pencabutan izin [15]. Mereka yang terbukti merokok di kawasan dilarang merokok juga dapat dikenakan sanksi sebagaimana ditetapkan dalam Perda No. 2/2005 [16], yaitu pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda maksimal sebesar Rp. 50.000.000 [17].

Pelaksanaan kawasan tanpa rokok

Seperti bisa dilihat di atas, di atas kertas Indonesia dan DKI Jakarta memiliki aturan yang cukup keras mengenai pengadaan dan penegakan kawasan yang bebas rokok. Namun pada kenyataannya pemandangan asap rokok dan asbak di restoran atau tempat umum di Jakarta dan di kota lain di Indonesia merupakan sesuatu hal yang cukup biasa.

Hasil survei yang dilaksanakan oleh Smoke Free Agent selama Maret 2014 hingga Februari 2015 terhadap 1,550 gedung di Jakarta menunjukkan bahwa 70 persen dari gedung pemerintah, mal, tempat ibadah, restoran, hotel, tempat bermain anak, hingga sarana olahraga masih penuh asap rokok [18]. Survei tersebut mengukur kepatuhan gedung terhadap Pergub No. 75/2005 dengan menggunakan enam indikator; yaitu tersedianya tempat khusus untuk merokok, bau asap rokok, jumlah asbak, jumlah puntung rokok, jumlah orang sedang merokok, dan keberadaan tanda “dilarang merokok”. Berdasarkan indikator tersebut, ditemukan bahwa tidak ada satu gedung pun di Jakarta yang memiliki tingkat kepatuhan terhadap Pergub No. 75/2005 lebih dari 50 persen. Tingkat kepatuhan lembaga pendidikan terhadap pengaturan kawasan dilarang merokok dinyatakan hanya sebesar 47 persen, disusul oleh institusi kesehatan sebesar 46 persen dan gedung-gedung pemerintah yang seharusnya tunduk pada aturan yang mereka buat sendiri hanya memiliki tingkat kepatuhan sebesar 42 persen [19]. Pasar dinyatakan sebagai pelanggar tertinggi dengan tingkat kepatuhan yang hanya sebesar 10 persen, disusul dengan restoran dan hotel.

Dilihat dari hasil survei tersebut, mungkin tidak berlebihan apabila dinyatakan bahwa wacana kawasan tanpa rokok gagal ditegakkan oleh pemerintah. Karena hal itu, perlu untuk ditimbang apakah ada hal lain yang bisa dilakukan pemerintah dalam penegakan kawasan tanpa rokok.

Apa lagi yang bisa dilakukan pemerintah?

Menurut Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia, pemerintah perlu menambah peraturan dalam bentuk Peraturan Daerah yang khusus mengatur mengenai kawasan tanpa rokok, karena Perda No. 2/2005 dianggap bersifat terlalu umum [20]. Ia juga menunjuk pada kebijakan hukum nasional yang mewajibkan Pemerintah Daerah untuk membuat kebijakan mengenai kawasan tanpa rokok melalui Peraturan Daerah [21]. Meskipun memang PP No. 39/2012 menempatkan kewajiban penetapan Peraturan Daerah, perlu dipertanyakan dampak seperti apakah yang akan dihasilkan oleh tambahan satu lapisan perundang-undangan apabila tidak didukung oleh faktor lain sebagaimana berikut.

Selain dari penetapan peraturan, pemerintah juga perlu menyiapkan sistem penegakan kawasan tanpa rokok yang konsisten. Sepertinya sudah menjadi pengetahuan publik bahwa mall dan restoran di Jakarta masih banyak yang membiarkan orang merokok di dalam gedungnya, namun nampaknya belum ada penindakan yang tegas karena hal tersebut masih dibiarkan terus berlanjut.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memberikan sarana “SMS Ahok” untuk menyampaikan pengaduan masyarakat. Penulis sendiri pernah beberapa waktu lalu menggunakan sarana ini untuk menyampaikan keadaan restoran-restoran di mall besar dengan meja tempat merokok yang terdapat di dalam gedung, namun tidak mendapatkan balasan apapun dan penulis tetap melihat orang merokok di dalam gedung mall yang diadukan tersebut. Ancaman Ahok untuk mencabut sertifikat layak fungsi (SLF) di setiap mall di ibu kota yang membolehkan tempat untuk merokok [22]. juga sepertinya belum didengarkan atau dijalankan.

Selain itu, peraturan juga perlu disebarluaskan karena sepertinya ketentuan-ketentuan lebih dalam mengenai tempat-tempat yang merupakan kawasan tanpa rokok dan juga sanksi-sanksi yang dapat dikenakan atas pelanggarannya belum menyebar luas. Dengan disebarluaskannya pengetahuan mengenai hal ini kepada masyarakat, maka masyarakat sendirilah yang bisa membantu pemerintah untuk menjalankan dan menegakkan hukum. Para perokok yang mengetahui adanya larangan merokok di tempat tertentu diharapkan bisa lebih sadar diri dan mencari tempat lain yang lebih cocok untuk dijadikan tempat merokok; yaitu tempat yang berada di luar ruangan dan dengan akses ke udara luar, bukan sekedar pojok terpisah di dalam gedung. Selain itu, masyarakat lain yang tidak merokok juga bisa dengan lebih penuh keyakinan akan hak mereka atas udara segar untuk mengingatkan para perokok atau para pelaku usaha apabila mereka melanggar ketentuan-ketentuan yang ada.

Menurut Soerjono Soekanto, ada lima faktor utama yang mempengaruhi proses penegakan hukum; yaitu faktor hukumnya sendiri, penegak hukum (pihak yang membentuk dan menerapkan hukum), sarana penegakan hukum, masyarakat di mana hukum tersebut berlaku, dan kebudayaan [23]. Hal ini tidak jauh berbeda dari pandangan yang disampaikan oleh Kepala Bidang Angkutan Darat Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, Syafrin Liputo, ATD, MT dalam presentasinya yang berjudul “Implementasi dan Pengawasan Kawasan Dilarang Merokok di Angkutan Umum” [24]. Menurutnya, ada beberapa penyebab tingginya tingkat pelanggaran peraturan mengenai kawasan dilarang merokok di angkutan umum, yang menurut penulis juga berlaku pada konteks yang lebih luas dan tidak terbatas pada pelanggaran di angkutan umum saja.

Pertama adalah ketidaktahuan para awak penumpang angkutan umum atas aturan mengenai kawasan dilarang merokok. Kemudian rendahnya tingkat kesadaran dan kepedulian dari para awak dan juga penumpang angkutan umum mengenai gangguan rokok terhadap penumpang lain, dan juga kurangnya sosialisasi dan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah. Terakhir, dinyatakan bahwa bagi sebagian orang merokok dianggap sesuatu yang sama seperti makan atau minum sehingga dianggap lumrah untuk dilakukan dimanapun dan kapanpun [25].

Budaya rokok sepertinya sudah amat sangat mendarah daging di Indonesia sehingga norma hukum dalam menyelenggarakan kawasan tanpa rokok sepertinya masih bekerja sendiri tanpa ada dukungan yang cukup dari kaidah kesusilaan atau kaidah kesopanan. Hati nurani seorang perokok kadang tidak menyadari ada yang salah dari tindakannya saat merokok di tempat umum dan karenanya tidak merasakan rasa atau menyesal apabila mereka merokok di tempat umum. Kaidah kesopanan bahwa tidak patut atau pantas untuk merokok di depan anak kecil, di dekat orang tua atau orang lain yang tidak merokok juga tidak tertanam secara kuat, sehingga sedikit cemooh atau umpatan yang keluar dari mereka yang merasa terganggu dengan asap rokok. Peran pemerintah tidak berhenti pada penetapan hukum dan peraturan mengenai kawasan tanpa rokok, tapi juga diperlukan untuk membudidayakan kepada masyarakat (baik perokok atau non perokok) mengenai bahaya dari asap rokok dan pentingnya penegakan kawasan tanpa merokok di Indonesia.

Penutupan

Udara bersih yang bebas dari asap rokok masih merupakan “barang langka” di Indonesia, termasuk di Jakarta. Adanya berbagai peraturan perundang-undangan di tingkat nasional dan juga daerah nampaknya masih belum berhasil dalam menghasilkan kawasan yang bebas asap rokok, karena sedihnya rokok seperti sudah “mendarah daging” di masyarakat. Peran pemerintah dalam penegakan kawasan yang bebas rokok masih bisa ditingkatkan lagi melalui penegakan hukum yang lebih tegas dan konsisten dan juga pembelajaran kepada masyarakat mengenai apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka.


1. UU No. 36/2009, Ps. 115 ayat (2) & PP No. 109/2012, Ps. 49.
2. PP No. 39/2012, Ps. 1 angka 11.
3. Pergub No. 75/2005, Ps. 1 angka 23, Pergub No. 50/2012, Ps. 1 angka 44.
4. UU No. 36/2009, Ps. 115 ayat (1), PP No. 39/2012, Ps. 50 ayat (1), PB No. 7/2011, Ps. 3 ayat (1), Perda No. 2/2005, Ps. 13 ayat (1), Pergub No. 75/2005, Ps. 3, Pergub No. 50/2012, Ps. 1 angka 44.
5. PP No. 39/2012, penjelasan Pasal 115 ayat (1) huruf g.
6. Pergub No. 75/2005, Ps. 1 angka 25, Pergub No. 50/2012, Ps. 1 angka 46.
7. PB No. 7/2011, Ps. 4.
8. PP No. 39/2012, Ps. 51 ayat (1), PB No. 7/2011, Ps. 5 ayat (1).
9. PP No. 39/2012, Ps. 51 ayat (1), PB No. 7/2011, Ps. 5 ayat (2).
10. PB No. 7/2011, Ps. 8 ayat (1).
11. PB No. 7/2011, Ps. 8 ayat (2) dan (3).
12. Pergub No. 75/2005, Ps. 26 ayat (1). Pergub No. 50/2012, Ps. 9 ayat (1).
13. Pergub No. 75/2005, Ps. 26 ayat (2).
14. UU No. 36/2009, Ps.199 ayat (2).
15. Pergub No. 75/2005, Ps. 27 ayat (1), Pergub No. 75/2005, Ps. 27 ayat (2).
16. Pergub No. 75/2005, Ps. 27 ayat (2).
17. Perda No. 2/2005, Ps. 41 ayat (2).
18. Tempo.co, Kawasan tanpa Rokok, Gedung Pemerintah Masih ‘Berasap’, 30 September 2015, diakses 17 Januari 2016, http://metro.tempo.co/read/news/2015/09/30/083705091/kawasan-tanpa-rokok-gedung-pemerintah-masih-berasap.
19. Ibid.
20. Berita Satu, DKI Jakarta Perlu Segera Miliki Perda Kawasan Tanpa Rokok, 9 Juli 2015, diakses 17 Januari 2016, http://www.beritasatu.com/megapolitan/289832-dki-jakarta-perlu-segera-miliki-perda-kawasan-tanpa-rokok.html.
21. Ibid. Pasal 52 dari PP No. 39/2012menempatkan kewajiban pada Pemerintah Daerah untuk menetapkan Kawasan Tanpa Rokok di wilayahnya dengan Peraturan Daerah.
22. Fakhrizal Fakhri, Ahok Geram Ada Mal yang Bolehkan Pengunjung Merokok, OkeZone.com, 28 Agustus 2016, diakses 18 Januari 2016, http://news.okezone.com/read/2015/08/28/338/1204463/ahok-geram-ada-mal-yang-bolehkan-pengunjung-merokok.
23. Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal 8.
24. Syafrin Liputo, Implementasi dan Pengawasan Kawasan Dilarang Merokok di Angkutan Umum, 19 Oktober 2013, diakses 18 Januari 2016, http://www.kompak.co/makalah/.
25. Ibid.