Perundang-undangan E-Commerce di Indonesia – are we there yet?

Pendahuluan
Kehidupan manusia yang terus menghasilkan kemajuan dan perkembangan tekonologi terus menghasilkan bentuk-bentuk perbuatan hukum baru. Pengunduhan musik atau film secara ilegal menjadi bentuk tindak pidana baru pelanggaran hak cipta. Begitu juga dengan jual beli yang dilakukan melalui internet atau online shopping; ini merupakan bentuk baru pembentukan perjanjian jual beli tanpa perlu adanya tatap muka antara penjual dengan pembeli. Timbulnya perbuatan-perbuatan hukum baru perlu didukung dengan perangkat hukum yang jugabaru yang mengatur batasan-batasan yang diterima dan juga menetapkan hak dan kewajiban para pelaku.

Tulisan ini dimaksudkan untuk melihat secara lebih dalam respon legislatif Indonesia sehubungan dengan informasi dan transaksi elektronik terhadap perkembangan teknologi yang dihasilkan oleh masyarakat, dan mempertimbangkan apakahperundang-undangan yang sudah dihasilkan hingga saat ini cukup untuk mengatasi keadaan yang sesungguhnya sedang terjadi di masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini, penulis melakukan pengumpulan data normatif melalui kajian hukum yang berlaku di Indonesia sehubungan dengan transaksi elektronik, dan juga kajian empiris melalui wawancara dengan beberapa pelaku bisnis, yaitu Budi Gandasoebrata, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik dari Asosiasi E-commerce Indonesia (Indonesia E-commerce Association / idEA) dan Direktur dari Veritrans Indonesia (perusahaan penyedia online payment gateway),Even Alex Chandra, tim legal dari OLXIndonesia dan Bima Laga, Chief Financial Officer dari PriceArea.com.

Meskipun ada banyak aspek lain dari perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik, karena keterbatasan waktu dan tempat, tulisan ini akan memfokuskan kepada sisi transaksi elektronik atau bisnis e-commerce.

Sekilas Mengenai Bisnis E-Commerce di Indonesia
Siapa yang belum pernah dengar Gojek? Atau Lazada, Tokopedia dan Kaskus? Nama-nama tersebut merupakan bisnis e-commerce di Indonesia yang namanya makin hari makin dikenal luas. Tapi, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan e-commerce? US Department of Commerce mengartikan e-commerce sebagai “jual beli barang dan jasa di mana suatu pesanan ditempatkan oleh seorang pembeli atau yang harga dan ketentuan penjualan dinegosiasikan melalui internet” [1]. Pasal 1 Angka 2 UU ITE dan Pasal 1 Angka 2 PP STE (masing-masing sebagaimana didefinisikan di bawah) mengartikan transaksi elektronik sebagai “perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”. Pada dasarnya, electronic commerce atau perdagangan elektronik adalah peristiwa jual beli yang terjadi di internet.

Jadi, mengapa e-commerce penting untuk dibahas? Jawabannya simpel, karena e-commerce merupakan industri yang sedang berkembang, dan perkembangannya terjadi dengan amat sangat pesat. Dengan jumlah penduduk yang besar dan penggunaan internet yang terus bertambah, Indonesia dianggap banyak orang dalam beberapa dekade ke depan menyimpan potensi besarbagi para investor dalam bidang teknologi [2].

Menurut Indonesia Netizen Survey 2013 yang dilakukan oleh perusahaan riset pasar MarkPlus dengan majalah Marketeers, hingga pertengahan tahun 2013, ada 74,1 juta pengguna internet di Indonesia [3]. Sebagai gambaran betapa besarnya angka ini, jumlah pengguna internet di Indonesia masih lebih banyak dibandingkan seluruh penduduk Inggris Raya (sebanyak hampir 65 juta orang) [4], dan lebih dari dua kali lipat jumlah penduduk Kanada (sebanyak hampir 35 juta orang) [5]. 74,1 juta orang, meskipun merupakan angka yang besar, hanya merupakan 28% dari seluruh penduduk Indonesia. Sedangkan di negara-negara maju, persentase pengguna internet masih jauh lebih tinggi, seperti Singapura (82%) [6], Hong Kong (80%) [7]. dan Australia (94.1%) [8]. Angka-angka ini menunjukkan masih begitu besar pangsa e-commerce Indonesia yang belum tergali potensinya.

Dari 74,1 juta pengguna internet di Indonesia, menurut penelitian yang dilakukan oleh firma logistik Singapura, Singpost, pada tahun 2013 ada 4,6 juta online shoppers di Indonesia yang pada tahun 2014 meningkat menjadi 5,9 juta [9]. Menurut penelitian Google, pasar online shopping di Indonesia mencapai sebesar sekitar USD 8 milyar pada tahun 2013 dan diperkirakan akan berkembang sebesar USD 25 milyar pada tahun 2016 [10]. Para pelaku bisnis melihat masih banyak kesempatan yang bisa diambil oleh para pelaku e-commerce untuk mengambil sebagai pasar pembelian retail offline menjadi pembelian online.

Dengan masih begitu banyaknya potensi untuk pengembangan bisnis e-commerce di Indonesia, para investor pun berbondong-bondong masuk ke Indonesia. Salah satu grup e-commerce terbesar dunia, Rocket Internet, mendirikan Lazada Indonesia di tahun 2012. Lazada telah berkembang pesat sehingga banyak disebut sebagai “Amazon Asia Tenggara” dan menjadi situs belanja paling populer di Indonesia. Untuk produk fashion, Rocket Internet juga telah mendirikan Zalora Indonesia. Situs belanja Jepang, Rakuten, juga telah mendirikan subsidiari di Indonesia yang beroperasi secara lokal.Investasi asing yang amat mencengangkan juga terjadi tahun lalu, dengan Softbank dan Sequoia Capital dikabarkan memberikan investasi dana sebesar USD 100juta ke Tokopedia, suatu situs marketplace yang menghubungkan konsumen dengan konsumen [11].

Melalui penjualan secara online, para pelaku e-commerce berkesempatan luas untuk mencapai para konsumen di kota-kota kecil yang memiliki akses terbatas kepada pusat-pusat perbelanjaan. Bahkan menurut informasi dari Rakuten dan Zalora, sekitar 70% dari pesanan melalui website mereka datang dari luar daerah perkotaan [12].

Dengan begitu banyaknya investasi asing yang datang, begitu banyaknya situs e-commerce yang muncul, begitu besarnya jumlah online shoppers dan nilai transaksi perbelanjaan elektronik, pemerintah perlu merespon dengan memberikan infrastruktur yang baik, keamanan dan kepastian hukum untuk terus mendorong perkembangan ekonomi dari sisi ini.

Hukum Apa Saja yang Berlaku?
Di Indonesia bisnis e-commerce diatur dalam beberapa perangkat hukum yang terdiri dari Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),

Undang-undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan), dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP STE). Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga sejak 2 tahun terakhir mengumumkan wacana pembentukan rancangan peraturan pemerintah tentang transaksi elektronik (RPP E-commerce). Selain dari perundang-undangan tersebut, pengaturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)mengenai perjanjian jual beli juga berlaku secara umum kepada bisnis e-commerce.

Pasal 1457 KUHPer mengartikan jual beli sebagai “suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan”.Dalam bentuk yang konvensional seperti di supermarket contohnya,jual beli terjadi pada saat pembeli membayarkan barang yang ingin dibeli ke kasir. Dengan menempatkan barang dan mencantumkan harga barang di toko, penjual dianggap mengikatkan dirinya akan menyerahkan barang tersebut apabila menerima pembayaran harga yang dicantumkan. Pada saat pembeli membayarkan harga di kasir, ia dianggap telah setuju dengan harga yang dicantumkan.Persetujuan antara pembeli dan penjual tercapai dan perjanjian jual beli pun terjadi. Apabila pembeli membayarkan dengan menggunakan kartu kredit atau kartu debit, maka penjual bisa memastikan bahwa pembeli memang pemilik kartu tersebut dengan menyocokkan tanda tangan “tinta basah” atau dengan penggunaan PIN.

Salah satu hal yang membedakan jual beli online dengan jual beli secara konvensional adalah tidak adanya tatap muka antara penjual dan pembeli.Pada saat pembeli membayar dengan kartu kredit atau kartu debit, penjual tidak dapat memastikan identitas pembeli dengan tanda tangan “tinta basah” atau PIN dan para pihak memerlukan sarana yang berbeda.

PP ITE memberikan sarana ini dengan menciptakan “tanda tangan elektronik” yang salah satu fungsinya adalah sebagai “alat autentikasi dan verifikasi identitas penandatangan” [13]; yang dalam konteks transaksi elektronik menjadi bukti persetujuan penandatangan atas informasi dan dokumen elektronik yang ditandatangani [14].Pasal 53 ayat (1) PP ITE menetapkan bahwa tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah apabila memenuhi persyaratan tertentu sebagai berikut:

  1. Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
  2. Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;
  3. Segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
  4. Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatangan dapat diketahui;
  5. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penanda Tangannya; dan
  6. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.

Dalam jual beli bentuk tradisional, perjanjian jual beli terjadi setelah para pihak mencapai kesepakatan mengenai barang dan harga barang yang diperjualbelikan, meskipun harga belum dibayarkan dan barang belum berpindah tangan. Dalam transaksi yang terjadi melalui dunia maya, Pasal 20 UU ITE dan Pasal 50 PP ITE juga menyatakan hal yang serupa.Kecuali para pihak menyetujui lain, perjanjian terjadi saat para pihak mencapai kesepakatan, dan kesepakatan terjadi pada saat penawaran transaksi oleh penjual diterima oleh pembeli secara elektronik. Penjelasan Pasal 20 UU ITE menyatakan bahwa bentuk kesepakatan tersebut antara lain adalah pengecekan data, identitas, nomor identifikasi pribadi / PIN atau password, dan penjelasan Pasal 50 PP ITE menyatakan bahwa penerimaan oleh pembeli terjadi saat ia mengklik persetujuan secara elektronik. Perjanjian jual beli dengan demikian juga terjadi sebelum serah terima barang terjadi.

Hubungan dengan Hukum dan Masyarakat
Keadaan mengenai bisnis e-commerce dan peraturan perundang-undangan yang sudah diterbitkan hingga saat ini sebagaimana digambarkan di atas merupakan perwujudanpemikiran beberapa pakar sosiologi hukum; seperti halnya Soetandyo Wignjosoebroto mengenai historitas dan sifat adaptif hukum, Satjipto Rahardjo mengenai hukum progresif, dan juga Franz von Benda-Beckmann mengenai peran hukum dalam globalisasi.

Historitas Hukum
Menurut Profesor Soetandyo Wignjosoebroto, hukum merupakan hasil kinerja manusia yang memiliki ciri historitas yang menyebabkannya terus berubah seiring dengan perubahan jaman. Hukum selalu bertransformasi dari waktu ke waktu, sehingga saat melihat

perkembangan hukum, sesungguhnya kita juga melihat perkembangan gambaran kehidupan masyarakat di waktu tertentu.Hukum yang ada mengenai bisnis e-commerce menggambarkan situasi yang ada saat ini di masyarakat dengan majunya teknologi komputer dan berkembangnya jaringan internet, yang mungkin 20 atau 30 tahun yang lalu tidak terbayangkan akan diperlukan.

Hukum bersifat Adaptif
Peraturan mengenai e-commercejuga merupakan bentuk adaptasi hukum terhadap keadaan riil yang terjadi di masyarakat yang makin sering melaksanakan transaksi secara elektronik. Peraturan yang sudah dan akan diterbitkan merupakan produk adaptif pemerintah dalam memfungsikan hukum di kehidupan yang tengah berubah.

Tekanan dari masyarakat agar transaksi elektronik yang mereka lakukan setiap harinya diberikan status hukum yang jelas dan juga perlindungan hukum yang kuat bisa jadi merupakan salah satu pendorong untuk diterbitkannya peraturan perundang-undangan transaksi elektronik yang sudah diterbitkan dan juga RPP E-Commerce yang sudah amat dinantikan.

Hukum E-Commerce Sebagai Bagian dari Hukum Progresif
Perundang-undangan mengenai e-commercememiliki beberapa karakteristik dari hukum progresif seperti yang dicetuskan oleh Profesor Satjipto Rahardjo; salah satunya adalah bahwa hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum [15]. Dalam pemikiran ini, manusialah yang berada dalam titik pusat perputaran hukum. Hukum menyesuaikan kebutuhan manusia dan bukan sebaliknya.

Majunya teknologi dan berkembangnya transaksi yang dilakukan secara elektronik mendorong perlu adanya peraturan untuk memastikan keabsahan perjanjian yang dilaksanakan secara elektronik dan juga memberikan perlindungan kepada konsumen. Penjelasan Umum mengenai UU ITE juga mengakui bahwa “pemanfaatan teknologi informasi, media dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global” [16]. Dinyatakan bahwa “perlu diperhatikan sisi keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar

dapat berkembang secara optimal” [17]. Jelas berdasarkan Penjelasan tersebut bahwa UU ITE diterbitkan salah satunya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Hukum progresif juga dikatakan mendudukkan kepastian, keadilan dan kemanfaatan dalam posisi yang sama pentingnya [18]. Namun ada beberapa hal yang menyebabkan hukum mengenai e-commerce masih belum bisa dinilai memberikan keadilan kepada semua pihak karena masih belum berhasil menghasilkan kepastian hukum dan juga berdasarkanketidakpuasan para pelaku usaha sebagaimana dijelaskan lebih jauh di bawah.

Hukum untuk Mengimbangi Globalisasi
Franz von Benda-Beckmann berpendapat bahwa hukum merupakan bagian yang amat penting dalam globalisasi [19]. Globalisasi semakin mendorong borderless worldatau dunia tanpa batasan. Internet pun memiliki karakteristik yang sama karena melalui internet manusia bisa begitu mudahnya berinteraksi dan bertransaksi dengan satu sama lain meskipun berjarak ribuan kilometer. Hukum yang mendukung terlaksananya transaksi elektronik dengan demikian juga membangun perkembangan globalisasi.

United Nations Convention on the Use of Electronic Communications in International Contracts atau Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Mengenai Penggunaan Komunikasi Elektronik dalam Kontrak Internasional disahkan oleh Majelis UmumPBB pada tahun 2005. Konvensi ini ditandatangani oleh 18 negara dan diratifikasi oleh 3 negara, dan beberapa negara lainnya seperti Australia, Kanada dan Amerika juga telah menyatakan niat mereka untuk menerbitkan undang-undang untuk mengadopsi Konvensi tersebut. Untuk dapat bersaing dengan negara-negara tersebut, Indonesia juga perlu untuk menerbitkan undang-undang yang memfasilitasi transaksi elektronik. UU ITE, PP ITE dan UU Perdagangan merupakan salah satu cara pemerintah mendukung daya persaingan Indonesia dan para pelaku bisnis Indonesia di era globalisasi.

Kemampuan Dalam Mengatasi Kebutuhan Masyarakat
Menurut Professor Satjipto Rahardjo, hukum progresif adalah hukum yang bisa membuat masyarakat bahagia [20]. Dari segi transaksi elektronik, maka perlu dilihat apabila peraturan

perundang-undangan yang berlaku sudah berhasil dalam mengatasi keadaan dan problem-problem yang ada dalam masyarakat dan dengan demikian mencapai tujuan tersebut.

Hukum yang sudah diterbitkan hingga saat ini apabila ditelaah secara seksama terlihat kurang lengkap dan kurang jelas untuk menghadapi fakta riil yang terjadi di masyarakat dan perkembangan model usaha dalam e-commerce Indonesia.

PP ITE sebagai contohnya, di Pasal 43 ayat (1) mewajibkan setiap penyelenggaraan transaksi elektronik di Indonesia untuk melakukan penyimpanan data transaksi di dalam negeri (huruf b), memanfaatkan gerbang nasional (huruf c), dan memanfaatkan jaringan Sistem Elektronik dalam negeri (huruf d).

Persyaratan huruf b mewajibkan toko-toko online yang melakukan penjualan kepada warga Indonesia wajib untuk menyimpan data transaksi atau memiliki data centerdi Indonesia. Persyaratan ini bahkan tidak dikatakan berlaku hanya untuk penyelenggara transaksi elektronik yang memiliki anak perusahaan atau kantor perwakilan di Indonesia tapi berlaku secara umum kepada usaha e-commerce manapun yang melakukan penjualan kepada orang Indonesia.

Hal ini susah untuk dipenuhi karena tidak ada data center di Indonesia yang memenuhi standar dan yang memiliki reliability yang tinggi. Data center secara umumnya memiliki tingkatan; dari tingkat atau tier1 (yang paling buruk) hingga tier4 (paling baik). Untuk bisnis-bisnis e-commerce besar dengan volume transaksi yang besar memerlukan setidaknya data center dengan tier3. Pada saat UU ITE diterbitkan, kebanyakan data centerdi Indonesia adalah tier 2 dan 3. Data center tier 4 pertama di Indonesia baru didirikan pada tahun 2014 [21]. Persyaratan tersebut hanya merugikan pelaku bisnis e-commerce karena apabila mereka diharuskan memiliki data center di Indonesia, maka tidak banyak pilihan data centeryang tersedia dengan kualitas yang memadai untuk kebutuhan bisnis mereka.

Menurut Bima Laga, persyaratan sehubungan dengan penyimpanan data transaksi di dalam negeri dinilai sangat membatasi bisnis e-commerce, termasuk bisnis PriceArea.com di mana ia bekerja. Ia menilai bahwa keputusan mengenai pemilihan data center yang akan digunakan seharusnya menjadi keputusan bisnis yang diambil para pelaku e-commerce dan bukan sesuatu yang diatur oleh hukum. Ia mengatakan bahwa ada banyak alternatif di luar Indonesia seperti Amazon Web Services atau Google Cloud Services yang menyediakan cloud data center dengan kualitas yang lebih baik dan dengan harga yang sangat kompetitif dibandingkan dengan data center yang tersedia di Indonesia.

Selain itu, kewajiban ini juga akan merugikan para pelaku bisnis e-commerce regional yang sudah memiliki usaha di Asia atau Asia Tenggara dan kemudian ingin membuka usaha di Indonesia. Para “regional players” seperti itu umumnyasudah memiliki data center di negara lain seperti Singapura, dan apabila diharuskan untuk menggunakan jasa data center lagi di Indonesia,mereka perlu mengeluarkan biaya infrastruktur tambahan yang besar yang belum tentu masuk akal secara komersil bagi bisnis mereka. Hal ini mungkin menjadikan para pelaku bisnis tersebut enggan membuka usaha dan membuka lahan pekerjaan di Indonesia.

Persyaratan penggunaan gerbang nasional yang dimaksud di Pasal 43 ayat (1) huruf c juga tidak memungkinkan untuk dipenuhi karena sampai saat ini belum ada gerbang nasional. Serupa halnya dengan persyaratan huruf d karena belum banyak jaringan Sistem Elektronik dalam negeri yang tersedia.

Lebih lagi, PP ITE banyak meninggalkan beberapa hal untuk diatur lebih lanjut lagi dalam Peraturan Menteri. Namun hingga awal tahun 2016 saat tulisan ini dibuat, masih banyak persyaratan dalam PP ITE yang masih belum diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Pasal 5 ayat (5), Pasal 11 ayat (4) dan Pasal 14 ayat (2) adalah salah satu contohnya.

Selain itu, Pasal 41 dan 42 PP ITE juga mensyaratkan pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan transaksi elektronik untuk mendapatkan Sertifikat Keandalan yang disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan Indonesia. Sejak Oktober 2012 saat PP ITE diterbitkan hingga sekarang, belum ada Lembaga Sertifikasi Keandalan Indonesia yang dibentuk. Hal ini menghasilkan kekosongan hukum dan kebingungan publik; dengan adanya suatu peraturan yang mensyaratkan suatu dokumen (Sertifikat Keandalan) dari suatu lembaga yang belum didirikan (Lembaga Sertifikasi Keandalan Indonesia).

Apabila ditarik contoh dari persyaratan yang disebut di atas maka toko online asing seperti Amazon yang tidak memiliki subsidiari atau keberadaan di Indonesia juga diharuskan menyimpan data transaksi mereka di Indonesia, menggunakan gerbang nasional (yang belum ada), dan memanfaatkan jaringan sistem di Indonesia. Hal ini hanya akan mencegah bisnis-bisnis e-commerce asing untuk melaksanakan perdagangan dengan penduduk Indonesia dan merugikan penduduk Indonesia yang tidak memiliki akses kepada.

Selain dari masih banyaknya kekosongan di UU ITE dan PP ITE, ada banyak juga kekecewaan pelaku bisnis e-commerce terhadap RPP E-Commerce. Seperti yang disebut di atas, pemerintah melalui Kemendag dalam dua tahun terakhir sudah menyiapkan rancangan RPP E-Commerce. Uji publik terhadap RPP E-Commerce bahkan telah dilakukan, meskipun proses ini berlangsung tertutup antara Kemendag dengan para pelaku industri. Berdasarkan uji publik inilah diketahui banyaknya ketidakpuasan masyarakat terhadap RPP E-Commerce, bahkan para pelaku bisnis e-commercemelalui idEA telah menyatakan bahwa rancangan peraturan tersebut berpotensi mematikan industri [22].

Reaksi yang cukup keras ini dilatarbelakangi beberapa keberatan terhadap isi RPP E-Commerce sebagai berikut.

Pertama, RPP E-Commerce dianggap oleh idEA tidak cukup bisa mendefinisikan pelaku usaha e-commerce berdasarkan praktik bisnis yang ada saat ini. RPP E-Commercemembagi tiga kategori pelaku usaha yaitu pedagang (merchant), penyelenggara transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PTPMSE), dan penyelenggara sarana perantara [23]. Meskipun adanya perbedaan kategori pelaku usaha, persyaratan yang terdapat di dalam RPP E-Commerceditetapkan berlaku sama pada ketiga jenis pelaku usaha tersebut. Pemukulan rata seperti ini dianggap tidak melihat pada kenyataan yang ada karena menurut idEA tiap model bisnis butuh regulasi yang berbeda-beda [24].

Salah satu persyaratan dalam RPP E-Commerce adalah bahwa pelaku usaha bertanggungjawab atas pengiriman barang ke konsumen. Hal ini tidak dianggap sesuai untuk diterapkan kepada PTPSME(contohnya Tokopedia) dan penyelenggara sarana perantara (contohnya penyedia iklan baris seperti OLX) yang pada kenyataannya tidak memiliki stok barang sendiri karena sifat usaha mereka hanyalah sebagai penghubung antara pembeli dan penjual yang sesungguhnya.

Kemudian, idEA juga mengungkapkan keberatan bahwa beberapa ketentuan di dalam RPP E-Commerce sehubungan dengan syarat usaha dan perizinan yang berlapis dianggap hanya

mempersulit ruang gerak industri dagang online lokal sehingga akan merugikan bisnis e-commerce lokal dan memajukan e-commerce asing [25].

Dalam Pasal 18 RPP E-Commerce terdapat kewajiban pelaku usaha untuk memiliki tanda daftar khusus sebagai pelaku usaha transaksi perdagangan melalui sistem elektronik. Semua PTPMSE dan pedagang yang melakukan kegiatan usaha di dalam Indonesia yang memiliki sistem transaksi melalui elektronik juga diwajibkan untuk memiliki izin khusus perdagangan elektronik dari menteri [26]. Sedangkan penyelenggara sarana perantara tidak diwajibkan mendapatkan izin dari menteri jika mereka tidak mendapatkan manfaat (bukan merupakan beneficiary) atau tidak terlibat langsung dalam hubungan kontraktual jual beli di mana mereka menjadi suatu perantara [27].

Lebih lagi, RPP E-Commerce dikabarkan mewajibkan pemilik platform e-commerce untuk melaksanakan proses Know Your Customer (KYC) dengan mewajibkan para penjual yang menggunakan platform mereka untuk memberikan bukti identitas berupa KTP (apabila individual) atau akta pendirian, izin usaha atau NPWP (apabila perusahaan). Di satu sisi, pemerintah ingin memastikan bahwa ada pertanggungjawaban oleh pengelola platform atas para pedagang yang berjualan di platform mereka. Pertanggung jawaban tersebut setidaknya dalam bentuk penyediaan informasi mengenai penjual tersebut. Maraknya pemberitaan mengenai iklan penjualan bayi di salah satu iklan baris TokoBagus (sekarang OLX) [28] dan juga penawaran penjualan narkoba di Tokopedia [29] mungkin merupakan salah satu pendorong yang melatarbelakangi dimasukkannya persyaratan ini.

Di sisi lainnya, persyaratan ini dianggap menjadi beban yang terlalu berat untuk diemban para pemilik platform karena volume dari dokumentasi tersebut amat besar dan akan memerlukan sumber daya dan biaya yang juga besar. Menurut idEA, sesungguhnya ada cara yang lebih sederhana untuk menjamin keamanan transaksi elektronik, yaitu melalui pendataan nomor ponsel dan rekening bank [30]. Menurut mereka, sudah ada proses KYC yang terjadi pada saat pendaftaran nomor ponsel atau pembuatan rekening dengan persyaratan

penyertaan nomor KTP, SIM dan identifikasi lainnya [31], sehingga beban penyimpanan informasi tersebut terpusat dan tidak dilakukan secara paralel oleh berbagai pelaku usaha e-commerce.

Even Alex Chandra, tim legal di OLX yang juga merupakan anggota Tim Bidang Kebijakan Publik di iDEA, juga menyatakan suara yang serupa. Menurutnya, kebijakan KYC sebenarnya sesuai dengan itikad baik dan keseriusan OLX sebagai penyedia jasa perantara untuk menyediakan sarana jual beli yang bukan saja nyaman, tapi juga aman bagi para pembeli dan penjual. Namun ia mengkhawatirkan apabila persyaratan KYC ini diterapkan tanpa adanya mekanisme dari pemerintah untuk membantu menjalankan proses tersebut, maka ditakutkan akan berakibat menghambat pertumbuhan e-commerce. Keberadaan perusahaan ­e-commerce seperti OLX bertujuan untuk membuat proses jual beli lebih simpel dan mudah bagi para penjual dan pembeli; tapi kewajiban para penjual sehubungan dengan KYC ditakutkan akan membuat para penjual mengurungkan diri untuk menggunakan platform jual beli dan kembali berjualan di media sosial seperti Instagram atau Facebook. Apabila hal ini terjadi, maka peran Instagram dan Facebook juga beralih dari sekedar media sosial menjadi perantara jual beli; dan apabila asas persamaan hukum diterapkan, kedua perusahaan tersebut juga seharusnya tunduk pada persyaratan KYC yang sama.

Ketentuan lain yang berpotensi amat memberatkan para pelaku bisnis e-commerce adalah batalnya kontrak elektronik secara otomatis apabila terjadi kesalahan teknis akibat tidak adanya akuntabilitas sistem [32]. RPP E-Commerce menyatakan bahwa tidak akan ada kewajiban hukum untuk mengembalikan barang dan atau jasa yang telah dikirimkan dan diterima oleh pihak lain apabila terjadi kesalahan teknis tersebut. Pengiriman barang yang telah terjadi akan dianggap sebagai pemberian cuma-cuma. Kerugian akibat kesalahan teknis akan harus ditanggung oleh para pedagang, PTPMSE dan penyelenggara sarana perantara [33]. Ketentuan seperti ini berpotensi menjadi beban finansial yang amat sangat besar bagi para pelaku usaha e-commerce, sehingga mungkin bisa diterima apabila mereka beranggapan hal ini berpotensi “membunuh” bisnis mereka.

RPP E-Commerce dianggap banyak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang sudah berlaku. Salah satunya adalah sehubungan denganhukum pengangkutan. Pasal 193 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan menyatakan bahwa kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan, menjadi tanggung jawab penyelenggara angkutan. Di RPP E-Commerce, tanggung jawab tersebut dilimpahkan pada penyelenggara sistem elektronik.

Peran para pelaku bisnis
UU ITE dan PP STE seperti bisa dilihat di atas nampaknya disusun tanpa pengertian yang dalam dari pemerintah akan keadaan sesungguhnya diindustrie-commerce.Sesaat setelah PP STE ditandatangani pada tahun 2012, beberapa pelaku usaha e-commerceyang merasa kurang dilibatkan dalam proses penyusunan PP STE kemudian memutuskan mendirikan idea sebagai asosiasi untuk mewadahi aspirasi industri e-commerce dan menjadi corong komunikasi industri dengan pemerintah.Keberadaan idEA diharapkan oleh para pelaku usaha e-commerce dapat menjadi wadah komunikasi untuk menyuarakan keinginan dan pendapat mereka kepada pemerintah mengenai realitas bisnis e-commerce.

Menurut Budi Gandasoebrata, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik idEA, sejak didirikannya idEA hingga sekarang, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh idEA dalam hubungan mereka dengan pemerintah adalah bahwa sering kali kebijakan pemerintah tertinggal jauh dari perkembangan dan inovasi yang terjadi di industri e-commerce yang bergerak dengan amat sangat cepat. Berdasarkan diskusinya dengan beberapa instansi pemerintah, pemahaman yang dimiliki instansi-instansi tersebut mengenai e-commerce adalah e-retail atau sekedar penjualan online saja. Pada kenyataanya, ada banyak model bisnis lain di dalam e-commerce, antara lain iklan barisatau classified ads(contohnya OLX), website perbandingan harga (contohnya PriceArea.com), marketplace (contohnya Lazada danTokopedia) dan juga kombinasi antara e-retail dan marketplace (contohnya MatahariMall dan BliBli). Ia memberikan contoh Go-Jek, suatu perusahaan start-upe-commerce yang menyita cukup besar perhatian masyarakat akhir-akhir ini. Menurut Budi, Go-Jek tidak bisa dikatakan masuk ke dalam kategori penjualan online karena bentuk usaha mereka sesungguhnya merupakan gabungan banyak hal termasuk jasa transportasi, aplikasi mobile, marketplace dan kurir, dan yang pengaturannya oleh pemerintah pun akan menjadi rumit.

Melalui diskusi mereka beberapa tahun terakhir dengan berbagai instansi pemerintah, Budi Gandasoebrata mengatakan bahwa idEAmenaruh harapan besar bahwa pemerintah dapat membuat kebijakan yang dapat mendorong pertumbuhan industri e-commerce, bukannya membatasi ruang gerak industri sehingga kreativitas dan inovasi pun kemudian dikorbankan.

Saat ditanya kebijakan seperti apakah yang menurutnya perlu dikeluarkan oleh pemerintah kepada industri e-commerce pada umumnya dan juga OLX khususnya, Even Alex Chandra menyatakan bahwa pembatasan kewajiban bagi para penyedia platform atau yang sering disebut sebagai safe harbor policy merupakan kebijakan yang menurutnya dapat membantu industri e-commerce agar dapat tumbuh dengan cepat. Kebijakan tersebut dianggap akan memberikan perlindungan hukum kepada para pelaku usaha dengan cara pembatasan tanggung jawab yang jelas, khususnya bagi penyedia platform penjualan seperti marketplace dan situs iklan baris. Sebagai contoh, apabila ada orang berjualan narkoba di situs marketplace, tidak seharusnya pemilik marketplacediminta pertanggungjawaban penuh atas pelanggaran tersebut. Analogi yang ia berikan adalah apabila perjudian illegal atau penjualan narkoba terjadi di sebuah gedung apartemen, maka tidak seharusnya pengelola gedung dituntut bertanggung jawab atas tindak pidana tersebut, karena tentunya harus ada batas tanggung jawab dan dibuktikannya elemen niat atau mens rea. Hukum Indonesia yang menjunjung tinggi asas persamaan hukum tentunya diharapkan konsisten mengenai hal ini.

E-commerce Roadmap
Perkembangan yang cukup signifikan terjadi beberapa hari sebelum tulisan ini dirampungkan. Pada hari Kamis 14 Januari 2016, diadakan suatu pertemuan yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dan dihadiri oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Sofyan Djalil, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menteri Perdagangan Thomas Lembong, Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf dan Deputi Gubernur BI Ronald Waas, di mana tiga poin penting ditetapkan dan disetujui oleh pemerintah melalui Kemkominfo sebagai berikut [34]:

  1. formalisasi petajalan (roadmap) e-commerce dan penetapannya menjadi program nasional yang akan diluncurkan pada akhir Januari 2016;
  2. penunjukan program management unit untuk mengkoordinasikan berbagai kementerian atau lembaga dalam implementasi petajalan dan memantau perkembangan dari masing-masing kementerian atau lembaga terkait; dan
  3. Rencana peluncuran resmi “Peta Jalan e-Commerce Indonesia” sebagai program nasional di bulan Januari 2016.

Formalisasi roadmap e-commerce menurut Kemkominfo merupakan bagian dari proses panjang yang telah dimulai sejak bulan Desember 2014. Bisnis e-commerce dianggap penting karena menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution, e-commerce merupakan salah satu cara yang paling efisien untuk meningkatkan keadaan logistik Indonesia karena kemampuannya untuk meningkatkan efisiensi distribusi barang dari daerah pelosok Indonesia ke kota-kota [35]. Langkah-langkah yang akan diambil oleh pemerintah Indonesia di dalam roadmap tersebut dikatakan akan banyak mencontoh langkah-langkah yang dilakukan di negara maju seperti Cina dan Amerika Serikat yang memiliki industri e-commerce yang maju dan berkembang [36].Roadmap ini juga disiapkan dengan bantuan konsultan Ernst & Young yang telah bekerja secara sistematif dan komprehensif untuk memfasilitasi berbagai kementerian dengan para stakeholder terkait, termasuk idEA [37].

Menurut keterangan pers dari Kemkominfo, ada lima prinsip dasar yang dipegang pemerintah dalam implementasi pengembangan e-commerce sebagai berikut [38]:

  1. bahwa seluruh warga Indonesia harus diberi kesempatan untuk mengakses dan melakukan transaksi e-commerce;
  2. bahwa seluruh warga Indonesia harus dilengkapi dengan keahlian dan kemampuan untuk memanfaatkan keuntungan dari ekonomi informasi;
  3. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) harus diminimisasi selama proses transisi menuju ekonomi internet dan tambahan lapangan pekerjaan bersih harus positif setelah dikurangi oleh dampak penghancuran kreatif (creative destruction);
  4. Kerangka hukum yang jelas harus diterapkan untuk menjamin industri e-commerceyang aman dan terbuka, termasuk di dalamnya netralitas teknologi, transparansi, dan konsistensi internasional; dan
  5. pemain nasional, terutama start-up dan UKM, harus dilindungi dengan sebaik-baiknya. Bisnis lokal dan pertumbuhan industri nasional harus menjadi prioritas utama.

Namun perlu diingat bahwa pemerintah, setahun setelah inisiasi dimulai, baru tiba pada tahap persetujuan atas suatu roadmap yang hanya merupakan suatu rencana umum dan belum memuat langkah-langkah yang kongkrit. Menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution juga, masih banyak hal yang perlu dipikirkan dan ditetapkan oleh pemerintah sehubungan dengan metode-metode pembayaran, penyingkatan dan penyatuan peraturan perundang-undangan, dan juga isu-isu teknis lainnya yang masih perlu dikoordinasikan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika [39].Harapan pemerintah dengan pelaksanaan roadmap e-commerce ini adalah agar nilai transaksi e-commerce di Indonesia bisa mencapat US$ 130 miliar pada 2020 [40].

Penutupan
Banyak pro dan kontra yang perlu ditimbang dalam pemikiran pengaturan mengenai industrie-commerce di Indonesia. Pembahasan mengenai hal ini semakin penting karena perkembangan pesat transaksi e-commercemenjadikan peraturan yang dikeluarkan akan mempengaruh makin banyak masyarakat Indonesia. Lebih lagi, transaksi melalui internet perlu agar dapat meningkatkan daya saing para pemilik usaha Indonesia dengan pihak asing, memperluas jangkauan terhadap konsumen, dan meningkatkan produktivitas dan volume transaksi yang akan berakibat baik dengan mendorong perkembangan ekonomi negara.

Seperti dilihat di atas, hukum yang ada masih belum cukup memadai dalam memberikan kejelasan kepada pelaku bisnis dan juga memberikan perlindungan kepada konsumen. Rancangan peraturan perundang-undangan juga mendapat berbagai kecaman dari pelaku usaha e-commerce yang beranggapan rancangan tersebut berpotensi mematikan e-commerce di Indonesia.Masukan-masukan yang disampaikan oleh para pelaku bisnis kepada pemerintah nampaknya mulai didengarkan dengan disetujuinya suatu roadmap e-commerce yang antara lain mengusung prinsip kerangka hukum yang jelas. Namun sampai perundang-undangan yang ada digantikan dengan perundang-undangan yang lebih sesuai dengan keadaan pasar dan yang konsisten dalam penerapannya, maka baru kemudian pemerintah bisa dianggap berhasil memenuhi tujuannya untuk mengembangkan bisnis e-commerceWe’re not there yet, but hopefully we’re on the right track.


1. Veritrans & Daily Social, “E-Commerce in Indonesia”, Agustus 2012, diakses 6 November 2015, https://api.dailysocial.net/en/wp-content/uploads/2012/08/eCommerce-in-Indonesia.pdf.
2. “Why Invest in the Indonesia Tech Sector”, Redwing, diakses 5 November 2015, http://redwing-asia.com/why-indonesia/.
3. “Netizen Survey 2013”, Marketeers, diakses 5 November 2015, http://www.getscoop.com/magazines/marketeers/nov-2013.
4. Office for National Statistics, diakses 5 November 2015, http://ons.gov.uk/ons/taxonomy/index.html?nscl=Population.
5. Statistics Canada, diakses 5 November 2015, http://www.statcan.gc.ca/tables-tableaux/sum-som/l01/cst01/demo02a-eng.htm.
6. Internet World Stats, diakses 4 November 2015, http://www.internetworldstats.com/stats3.htm.
7. IbidIbid.
8. Internet World Stats, diakses 4 November 2015, http://www.internetworldstats.com/stats6.htm.
9. Leighton Cosseboom, “Everything an outsider needs to know about Indonesian ecommerce in 2014”, Tech in Asia, diakses 4 November 2015, https://www.techinasia.com/indonesia-ecommerce-online-shopping-2014/.
10. Google, Online Shopper Study IDEA Roundtable, Agustus 2012.
11. Leighton Cosseboom, supra note 9.
12. Ibid.
13. Pasal 52 ayat (1) huruf a PP ITE.
14. Pasal 52 ayat (2) PP ITE.
15. Satjipto Rahardjo, “Penegakan Hukum Progresif”, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hal. 61.
16. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Penjelasan Pasal 1.
17. Ibid.
18. “Menggali Karakter Hukum Progresif”, Hukum Online.com, 2 Desember 2013, diakses 8 November 2015, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt529c62a965ce3/menggali-karakter-hukum-progresif.
19. Franz von Benda-Beckmannn&Keebet von Benda-Beckmannn (2006),“The Dynamics of Change and Continuity in Plural Legal Orders”, The Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, 38:53-54, 1-44.
20. Satjipto Rahardjo, supra note 16, hal. 69.
21. Wiwiek Juwono, “Keren, Indonesia Punya Data Center Tier IV Design”, PC Plus Live, 17 Juli 2014, diakses 8 November 2015, http://www.pcplus.co.id/2014/07/berita-teknologi/keren-indonesia-punya-data-center-tier-iv-design/.
22. Aditya Panji,“RPP E-Commerce Melindungi atau Membunuh Industri”,CNN Indonesia, 26 Juni 2015,diakses 7 November 2015, http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150629133512-185-63017/rpp-e-commerce-melindungi-atau-membunuh-industri/.
23. “Mengintip Isi RPP E-Commerce”, Hukum Online.Com, 28 Juni 2015, diakses 8 November 2015, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt558f510c0c66d/mengintip-isi-rpp-ie-commerce-i.
24. Fatimah Kartini Bohang,“Asosiasi Soroti 5 Poin dalam RPP E-commerce”, Kompas, 2 Juli 2015, diakses 7 November 2015, http://tekno.kompas.com/read/2015/07/02/11080087/asosiasi.soroti.5.poin.dalam.rpp.e-commerce.
25. Ibid.
26. “Mengintip Isi RPP E-Commerce”, supra note 23.
27. Ibid.
28. “Wah, Bayi Mungil Dijual di TokoBagus.com?”, Liputan 6, 1 Januari 2013, diakses 5 November 2015 http://tekno.liputan6.com/read/478211/waduh-bayi-mungil-dijual-di-tokobaguscom.
29. “Kasus Dagang Sabu Lewat Toko “Online”, Tokopedia Merasa Dirugikan”, Kompas, 4 Juni 2015, diakses 5 November 2015, http://megapolitan.kompas.com/read/2015/06/04/21064951/Kasus.Dagang.Sabu.Lewat.Toko.Online.Tokopedia.Merasa.Dirugikan.
30. Fatimah Kartini Bohang, supra note 24.
31. Ibid.
32. “Mengintip Isi RPP E-Commerce”, supra note 23.
33. Ibid.
34. “Siaran Pers Tentang Roadmap E-commerce Menjadi Program Nasional”, Siaran Pers No. 7/PIH/KOMINFO/1/2016m 16 Januari 2016, diakses 17 Januari 2016, http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/6607/Siaran+Pers+No.+7-PIH-KOMINFO-1-2016+tentang+%3Ci%3ERoadmap+E-commerce%3C-i%3E+Menjadi+Program+Nasional/0/siaran_pers#.Vpuzzfl94gs.
35. “Ministries Reach Agreement on e-Commerce Roadmap”, Tempo.co, 15 Januari 2016, diakses 17 Januari 2016, http://en.tempo.co/read/news/2016/01/15/056736395/Ministries-Reach-Agreement-on-e-Commerce-Roadmap.
36. Jeko Iqbal Reza, “Kemkominfo Jadikan Roadmap e-Commerce Sebagai Program Nasional”, Liputan6.com, 16 Januari 2016, diakses 17 Januari 2016, http://tekno.liputan6.com/read/2413599/kemkominfo-jadikan-roadmap-e-commerce-sebagai-program-nasional.
37. Ibid.
38. “Siaran Pers Tentang Roadmap E-commerce Menjadi Program Nasional”, supra note 34.
39. “Ministries Reach Agreement on e-Commerce Roadmap”, supra note 35.
40. Vincencia NLS,“Indonesia to launch new regulation on e-commerce in February”, Deal Street Asia, 15 Januari 2016, diakses 17 Januari 2016, http://www.dealstreetasia.com/stories/indonesia-to-launch-new-regulation-on-e-commerce-in-february-27115/.